Pada cangkir kopi pertama, kita saling bertukar cenderamata. Aku memberimu mendung hitam yang runtuh, kau menyerahkan hati yang lumpuh.
Pada cangkir kopi kedua, kita mulai menakar kata. Aku berujar membabi-buta, kau tanggapi dengan terbata-bata. Kita mulai memasuki hiruk-pikuk gelanggang baratayuda.
Pada cangkir kopi ketiga, kita mulai dihujani adrenalin karena terlalu banyak kafein. Aku semakin merasa menjadi ronin, sedangkan kau bersiap-siap menenggak aspirin. Mendadak saja kita sama-sama menghujat diri sendiri. Merutuknya setengah mati.
Pada cangkir kopi berikutnya, aku mengerucutkan mulut dan matamu mulai dipenuhi kabut. Kita masing-masing menarik pusaka dari rangka. Aku mencipratkan ludah mematikan dari lidah yang berbisa, dan kau menggenangi ujung percakapan dengan bah airmata.
Pada cangkir terakhir, kita nyaris kehabisan tenaga untuk berpikir. Kita lalu bersepakat untuk menyatukan kesimpulan dan menyatakan keputusan. Kita masih baik-baik saja. Sampai kelak takdir menyatakan sebaliknya.
Saat ini, mari kita ganti beberapa cangkir kopi yang sudah tak bersisa lagi. Kita isi dengan manisnya keyakinan dan pekatnya rasa percaya diri.
Pekanbaru, 16 Februari 2019