Kau terbaring di tubuh-tubuh puisi yang mentertawakan dirinya sendiri. Syairnya bersembunyi di balik beranak-pinaknya sunyi. Menyusup masuk ke dalam benak. Menjadikannya sarang ular beludak.
Jika seperti itu, lantaklah sudah setiap rencana yang nyaris menuju kehendak.
Kau bangkit berdiri di antara puing-puing sajak yang berhamburan menjadi teka-teki. Kau tak ingin menyusunnya. Untuk apa jika masih ada potongan kata yang sirna. Percuma. Tak akan pernah sempurna.
Bila seperti ini, satu-satunya jalan adalah mencari. Waktu paling tepat adalah ketika lampu jalanpun menyerupai matahari. Terang-benderang. Mudah sekali menemukan jalan pulang.
Kau lalu pergi dengan membawa serta puing-puing puisi di tangan kiri, potongan-potongan sajak di kedalaman hati. Kau berjanji kepada pintu yang membukakan keberangkatan. Akan pulang setelah terjadi pertemuan. Dengan potongan kata yang sirna. Yang ternyata telah menjelma menjadi kata cinta.
Bogor, 8 Februari 2019