Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

10 Januari 2019   08:20 Diperbarui: 10 Januari 2019   08:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab I

Dendam meleleh dari ujung ke ujung hati 
Tajamnya sengatan matahari bukanlah apa apa
Jiwanya murka semurka badai di neraka
Api di bumi menjilat jilat tanpa henti
Mengirimkan  hening sebagai tambur tanda peperangan
Sampai ketika darah kembali tumpah
Bergenang genang
Berkolam kolam
Berdanau danau
Bersamudera seluruh dunia.

Bab II

Padepokan Sanggabuana.  Dewi Mulia Ratri duduk bersimpuh di hadapan ayahnya, Pendekar Sanggabuana, yang terdiam mendengar seluruh rangkaian malapetaka yang menimpa Baginda Raja dan putra putrinya.  

Suara gadis itu tergetar dan kadang terbata bata.  Tidak ada tangisan yang keluar, namun mata itu menggambarkan bagaimana rasa di dalam hati gadis perkasa itu.  Terkadang kosong, menyala penuh bara, sunyi, berapi lagi, lalu hampa.

Pendekar Sanggabuana mengambil nafas dalam dalam setelah semua cerita putrinya selesai.  Ini benar benar malapetaka bagi kerajaan pasundan.  Dia harus turun ke ibukota untuk berunding dengan Panglima Candraloka dan Ki Mandara, lalu bersama sama kemudian menghadap Sang Permaisuri.

Tampuk kekuasaan kerajaan tidak boleh kosong.  Akan terjadi perebutan kekuasaan jika hal ini lama dibiarkan.

Pendekar tua ini memandang wajah putrinya.  Kuyu, redup, tak ada gairah, tak ada semangat.  Seperti bunga melati yang terlambat mekar. 

"Putriku...tidak ada sesuatupun di dunia ini yang berlaku sempurna.  Pedih, perih, kadang datang pada saat tak diduga.  Terimalah itu sebagai bagian dari langkah hidupmu.  Tetaplah tegar anakku...aku akan mendukung apapun keputusanmu..."

Pendekar Sanggabuana berucap penuh kelembutan.  Dewi Mulia Ratri mengangkat wajahnya.  Matanya menyala, suaranya bergetar beringas,

"Aku putuskan untuk mengasingkan diri di padepokan ini ayah.  Aku akan melatih kesempurnaan semua ilmuku.  Setelah itu, aku akan turun dan meminum darah orang Majapahit satu demi satu...!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun