Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peti Dewi Kematian

7 Januari 2019   13:30 Diperbarui: 7 Januari 2019   14:03 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Profesor! Kita berhasil! Kami menemukan lubang makam yang dimaksud..." Sebuah teriakan mengejutkan team periset yang terdiri dari 5 orang dan sedang melepas lelah di tenda utama.

Pria yang disebut profesor adalah pria setengah baya berkacamata tebal dengan kumis jarang-jarang. Tim memanggilnya profesor karena memang pria ini seorang profesor arkeologi yang terkenal dengan sebutan profesor Markam.

Sedangkan 3 orang lainnya adalah Jaka, Indra, Desi dan Susan. Keempatnya adalah mahasiswa program doktoral anak bimbing profesor Markam.

"Apa? Di mana?" Profesor Markam membelalakkan matanya penasaran.

"Persis di tempat perhitungan terakhir profesor minggu lalu. Sebuah peti batu kuno yang masih tertutup prof. Kami tidak berani membukanya sebelum prof mengatakan buka." Orang itu memberi informasi tambahan. Masih sambil terengah-engah.

"Oke. Saya ke sana. Ayo!" Ajak profesor Markam bersemangat kepada anggota timnya yang nampak antusias juga.

Semua orang berkerumun di pinggir sebuah lubang batu. Berhari-hari mereka menggali dan melubangi batu itu. Sampai akhirnya menemukan semacam peti yang juga terbuat dari batu. di atasnya terdapat tulisan huruf-huruf aneh yang berbunyi; Hic cistam mortem. non aperire....

Ada tulisan berikutnya yang tak terbaca lagi saking tuanya peti batu itu.

Hmm, pesan yang menarik. Pikir profesor Lang tergelitik. Ini peti dewi kematian. Jangan dibuka.

"Apakah kita buka sekarang petinya?" Profesor Markam memandangi 4 orang stafnya meminta masukan.

"Saya setuju prof. Kenapa harus menunggu lama untuk membukanya sedangkan kita ingin tahu misteri apa yang ada di dalam peti batu itu," Indra menyahut bersemangat. Matanya berbinar-binar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun