Pada setiap rasa kehilangan yang coba kembali dipertemukan. Ketakutan kemudian menghilangkan kesempatan dan pada akhirnya kejadian tetap kembali ke fase perpisahan.
Kita coba berbincang menggunakan perasaan di tengah satu dua ketidaksepakatan. Perasaan akhirnya kita simpan di dalam kamar. Kita akan memakainya nanti jika keluar dan nalar tak lagi terbakar.
Kau memilih menghilangkan keinginan daripada harus berkelahi dengan harapan. Aku sendiri tak memilih mati tapi sebuah tali sudah aku siapkan untuk menggantung sunyi.
Kita terus saja mempertengkarkan semua ketidakmungkinan. Kau bilang tidak mungkin bintang akan mati ketika semesta justru sedang melahirkan banyak cahaya. Aku yang nyaris punah. Menjawab entah. Kau lantas marah. Dan aku merasa tak punya rumah.
Kau mencoba mentertawakan ketidaklucuan antara kita. Aku ikut tertawa. Dengan sorot mata bertanya.
Ini sebetulnya apa?
Menyelesaikan perkara atau kita justru sedang membuatnya?
Begini saja. Demi kedamaian angkasa tempat kita menerbangkan segala asa. Kita sebaiknya saling bertukar mata. Kau melihat apa yang kucela dan aku melihat apa yang kau pinta.
Setelahnya kita sama-sama membersihkan beranda.
Tempat kita selalu bercengkerama yang sering kita kotori dengan berbagai macam prasangka.
Bagaimana?
Aku tentu saja iya.
Jakarta, 11 Desember 2018