Aku lihat ada gelimang airmata ketinggalan. Di sudut tak terjangkau saputangan.Â
Pada matamu yang tak sampai sejari lagi dari jangkauan. Tapi aku terhalang. Di antara aku dan kamu, ada tirai hujan lebat tak hendak segera pergi. Mungkin mereka menjagamu dari sayatan ujung jariku yang berapi. Seringkali menuliskan sunyi. Di hati. Tanpa sedikitpun berhati-hati.
Padahal aku hendak menghapusnya. Memakai kain perca. Bukan menggunakan berita duka. Padahal aku ingin memilin airmatanya. Dengan kabar gembira. Bukan reruntuhan luka.
Bagiku, kamu adalah perahu. Menyuruhku menjadi nelayan. Menaklukkan lautan. Menebar jala. Menombak gurita. Pada setiap julur lengannya bisa membuat luka. Kamu tak ingin siapapun terluka karenanya.
Bagiku, kamu adalah rumpun bambu kuning. Memintaku menjadikannya seruling. Menyanyikan tembang Nabi Sulaiman. Agar berbondong-bondong datang segala jenis hewan. Bercakap-cakap dengan mereka. Berbagi cerita tentang rusuhnya dunia. Kamu tak mau menjadi bagian dari kerusuhan itu. Kamu hanya bersedia menjadi bagian dari rindu.
Jika masih saja ada airmatamu yang ketinggalan. Tak sempat kamu tumpahkan. Biarkan aku mengambil tempayan. Menampungnya bersama hujan. Kamu akan tahu kesedihan itu tak lebih dari hujan yang kemalaman. Saat semua orang telah dihangatkan peraduan. Tak usah dipikirkan.
Bogor, 19 Nopember 2018