Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Langit Rubuh

23 Oktober 2018   06:18 Diperbarui: 23 Oktober 2018   07:58 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

tuan-tuan penunggang kuda. Berdiri di atas sanggurdi. Mengayunkan cemeti berujung duri. Mencoba melukai. Seekor merpati yang sedang membawa matahari. Datang ke suatu tempat. Salah alamat.

tuan puteri pengendarai bianglala. Melemparkan tatapan buas. Kepada rumput yang mulai meranggas. Selayaknya hyena yang cemas. Tak dapat lagi mengendalikan savana. Setelah rombongan singa tiba.

langit sepertinya akan rubuh. Menimpa banyak kepala yang dilanda rusuh. Tubuh dan hati lantas melepuh. Menantikan pagi membagikan embun. Agar tak lagi serasa dilanun.

langit bisa menegak kembali. Jika horison tak dipatahkan berulang kali. Biarkan semesta merencanakan semua. Tanpa perlu campur tangan tak pada tempatnya.

Medan, 23 Oktober 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun