sesungguhnya, kau lebih bahagia dari yang kau kira. Tapi kau sendiri tak menyadarinya. Mungkin karena kau kesulitan mencarinya. Begitu lama. Di mana-mana.
kepada hujan yang merintih di atap rumah. Kau menjulukinya orkestra yang ramah. Menghiburmu dalam kesepian panjang. Setelah kata sunyi selalu kau sunggingkan. Melalui tipisnya senyuman, muramnya tatapan, dan pelannya teriakan.
kepada pokok nyiur yang melengkung di pantai. Kau sebutkan sebagai pemandu lalai. Bagi para nelayan yang layarnya tak bisa berkembang. Lantas lupa jalan pulang. Pucuk nyiur memang tak bercahaya, namun sanggup menggantikan mercusuar sebagai penanda.
kepada genangan air yang enggan mengering di halaman. Kau katakan itu adalah cermin kenangan. Kau jadikan tempat untuk meletakkan bayangan. Setelah sekian masa mengikutimu dalam hiruk-pikuk perjalanan.
kepada jam dinding yang kehabisan baterai. Kau tetap mengamati setiap angkanya yang menjuntai. Bukan pada pendulum yang tak bergerak. Atau ujung jarumnya yang berkerak. Kau sangat yakin terhadap keadilan waktu. Tak semuanya berputar secara ngilu. Atau selalu berakhir pilu.
empat bait tentang bahagia. Kau menjalaninya. Tapi kau tak menyadarinya.
kau hanya disibukkan dengan airmata. Lalu lupa.
bahagia itu ada di setiap kedipan mata
jika kau bersedia berkaca
Bogor, 20 Oktober 2018