Sebuah pertunjukan opera. Hanya bisa terjadi jika panggungnya ada. Tak bisa sembarangan saja. Para pelakonnya mesti tahu bagaimana cara meladeni peran. Agar sanggup mempersembahkan beberapa keajaiban;
1) Panggung dibuat dengan sungguh-sungguh. Dari batang kayu yang tak rapuh. Bila panggung pada saatnya memang harus runtuh. Maka itu semua karena gegap-gempita membahana. Bukan karena hiruk-pikuk yang mengada-ada.
2) Para pelakon merias wajahnya dengan istimewa. Bermatakan air dan api, meronakan pipi menggunakan warna sunyi, bermaskarakan malam yang berusia renta, dan tak lupa memerahkan bibir dengan saga.
3) Runutan peristiwa yang dijalin. Menggambarkan drama yang terpilin. Itu semua untuk menunjukkan bahwa ceritanya berkisar dalam labirin. Tak mudah ditebak. Supaya airmata juga mudah merebak. Sekaligus memperlihatkan bahagia itu ternyata cuma bisa didapat dengan melintasi segala onak.
4) Musik yang menghantar. Mesti lebih menggelegar dari halilintar. Lebih lembut dari bisikan angin. Lebih mesra dibanding pagutan dingin. Para pemusiknya adalah maestro dari beberapa belahan musim. Selalu khidmat bermusik dalam suasana takzim.
5) Penonton terbelalak mata, tak mau bangkit dari kursinya, lalu bertepuk tangan pada akhirnya. Tanpa pura-pura di antaranya. Sebab penonton bukan bagian dari sandiwara. Merekalah saksi yang tak perlu disumpah janji. Bila itu terjadi, tak pelak operanya adalah reka-reka mimpi.
Saat opera ditutup secara sederhana. Keajaiban itu terasa masih ada. Para pelakonnya tahu bagaimana cara bergembira. Sedangkan penontonnya mengerti bagaimana cara berbahagia.
Bogor, 15 Oktober 2018