Pada satu kesempatan berbincang kita beradu sanggah. Tentang bulan Oktober yang kata orang basah. Kau bilang tentu karena hujan. Aku katakan bukan. Bisa jadi karena pada bulan ini banyak sekali tangisan.
Hujan memang benar datang. Tapi kedatangannya ternyata untuk berbela sungkawa. Kepada bulir-bulir airmata yang menyuburkan duka. Di mana-mana. Atas begitu banyak alasan. Musibah maupun ratapan.
dan lahirlah sebuah percakapan dari rahim keingintahuan;
kau bilang, bila airmata tidak untuk menangisi duka, lantas untuk apa?
aku katakan, tentu saja untuk meneguhkan hakikat kita sebagai manusia. Punya hak istimewa yang disebut rasa.
bagaimana dengan rindu yang bercuka, apakah tak apa untuk dibayar dengan airmata?
rindu yang bercuka tentu saja mudah menerbitkan airmata. Biar saja. toh cuka bukan bisa. Kenapa harus membuang airmata untuknya. Kau hanya akan meracuni hati dan mata.
percakapan tak biasa yang sama sekali tak sanggup untuk menjadi paripurna
Pada kesempatan berikutnya kita saling pandang. Menghitung berapa banyak bintang di langit yang sedang geram. Kata orang jumlah bintang menandakan seberapa banyak kerinduan sedang berlalu-lalang.
di hadapan kita yang menyimpannya lebih banyak daripada airmata yang kita punya.
Palembang, 13 Oktober 2018