di sebuah kota. Pada pinggirannya yang terlalu sering dilupa. Orang-orang menata kardus sebagai tempat tidurnya yang hangat. Melupakan penat. Setelah seharian berlomba dengan udara yang mampat.
di tengah kota. Di emperan toko yang pemiliknya tak ada. Beberapa orang menyandarkan separuh badannya di bawah atap yang menjorok keluar. Separuhnya lagi dihampar pada trotoar. Dingin itu biasa. Debu bukan perkara. Rasa lapar lah yang menusuk-nusuk setiap urat syaraf lambung mereka, terasa begitu istimewa.
jauh lagi di sudut kota yang lampu-lampu penerang jalannya tak lebih garang dari nyala lilin. Beberapa orang menyandarkan nasibnya yang terpilin. Pada pelukan dingin. Bagi mereka, esok hari tak lebih dari jajaran puisi basi. Menjanjikan harapan tertinggi yang tak lebih dari mimpi nyaris mati.
kota ini terbuat dari kaca. Sudah retak pada mulanya. Tak ingat untuk ditambal. Menjadikannya sebuah hunian yang janggal.
kota ini sudah retak sedari awal. Dipanggang oleh hidup yang berlebihan. Lupa didinginkan. Langsung saja dituang dalam tenggorokan.
kota yang retak ini. Mungkin sulit untuk mati. Namun bisa saja pecah berhamburan. Remah-remahnya menjadi kuburan. Dikudap oleh kegelapan. Menjadi kota tak berperadaban.
OKI, 12 Oktober 2018