Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Malam dan Kota Besar

20 September 2018   16:58 Diperbarui: 20 September 2018   17:15 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam terpaksa mengasihani dirinya sendiri.  Memandangi kota yang tertidur di pangkuannya.  Begitu nampak gelisah.  Tubuhnya yang besar terlipat bungkuk.  Seperti raksasa sakit sehabis dikutuk.  Malam tak jadi mengiba.  Kota memang sudah seharusnya menjadi induk semang rasa. Himpunan dari bilangan suka sekaligus ratapan duka.  Itu biasa.

Kutukan berulang dari sampah umpatan sesiangan.  Menjadikan kota sebagai sasaran mudah.  Bagi kesalahan yang membelasah.  Dari siapa saja yang hatinya dilumuri pahit.  Setelah kota memberinya pengalaman rumit.

Kota besar adalah pelahap.  Menelan mentah semua gunjingan, ratapan dan tawa kegirangan.  Dalam satu adukan.  Kemudian dikeluarkan lagi dalam satu muntahan.

Kota besar juga pecinta yang rusuh.  Menculik pagi di terminal, stasiun dan pelabuhan.  Menyekapnya dalam gaduh.  Meneror siang di emperan, trotoar dan jalanan.  Menakutinya agar tak melawan.  Melapisi senja di kereta, bajaj dan bus kota.  Dengan ribuan airmata.  Berencana maupun tak disengaja.

Bagi kota besar.  Malam adalah ibunda.  Pada malam, kota bisa menyandarkan kelelahannya.  Pada malam, kota mau mengadu perihal dadanya yang sesak dihimpit menara-menara kaca.  Pada malam, kota sanggup berterus terang tentang matanya yang hilang.  Pada malam juga, kota tak perlu lagi berpura-pura bahagia. 

Bagi malam.  Kota adalah anak bungsu yang terlahir belingsatan.  Menyusu pada kemarahan.  Dibesarkan dalam kebingungan.  Dewasa dalam bentuk kekacauan.

Bagi kita dan lainnya.  Malam dan kota besar adalah hingar-bingar yang terperangkap dalam kemungkinan yang berahasia.  Sekaligus ketidakmungkinan yang berbahaya.

Bogor, 20 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun