Malam terpaksa mengasihani dirinya sendiri. Â Memandangi kota yang tertidur di pangkuannya. Â Begitu nampak gelisah. Â Tubuhnya yang besar terlipat bungkuk. Â Seperti raksasa sakit sehabis dikutuk. Â Malam tak jadi mengiba. Â Kota memang sudah seharusnya menjadi induk semang rasa. Himpunan dari bilangan suka sekaligus ratapan duka. Â Itu biasa.
Kutukan berulang dari sampah umpatan sesiangan. Â Menjadikan kota sebagai sasaran mudah. Â Bagi kesalahan yang membelasah. Â Dari siapa saja yang hatinya dilumuri pahit. Â Setelah kota memberinya pengalaman rumit.
Kota besar adalah pelahap. Â Menelan mentah semua gunjingan, ratapan dan tawa kegirangan. Â Dalam satu adukan. Â Kemudian dikeluarkan lagi dalam satu muntahan.
Kota besar juga pecinta yang rusuh. Â Menculik pagi di terminal, stasiun dan pelabuhan. Â Menyekapnya dalam gaduh. Â Meneror siang di emperan, trotoar dan jalanan. Â Menakutinya agar tak melawan. Â Melapisi senja di kereta, bajaj dan bus kota. Â Dengan ribuan airmata. Â Berencana maupun tak disengaja.
Bagi kota besar. Â Malam adalah ibunda. Â Pada malam, kota bisa menyandarkan kelelahannya. Â Pada malam, kota mau mengadu perihal dadanya yang sesak dihimpit menara-menara kaca. Â Pada malam, kota sanggup berterus terang tentang matanya yang hilang. Â Pada malam juga, kota tak perlu lagi berpura-pura bahagia.Â
Bagi malam. Â Kota adalah anak bungsu yang terlahir belingsatan. Â Menyusu pada kemarahan. Â Dibesarkan dalam kebingungan. Â Dewasa dalam bentuk kekacauan.
Bagi kita dan lainnya. Â Malam dan kota besar adalah hingar-bingar yang terperangkap dalam kemungkinan yang berahasia. Â Sekaligus ketidakmungkinan yang berbahaya.
Bogor, 20 September 2018