Ini fragmen pagi di halaman. Kau berdiri di sana sembari menampilkan segmen tangisan. Di hadapanmu terkulai melati, kemuning dan kenanga nyaris bermatian. Bukan karena kekeringan. Namun nampaknya akibat kehilangan harapan. Perlahan-lahan. Dikupas waktu. Helai daunnya rontok satu persatu. Membatu!
Begitu tetesan air matamu menjatuhi tanah dengan suara berdentang. Maka itu sebenarnya lonceng peringatan. Cukup! Katakan bahwa itu air mata terakhir!
Air matamu yang dulu-dulu sudah menjadi telaga. Menghabiskan tenagamu sampai kau pikir kau adalah jelmaan mega-mega. Melahirkan hujan. Beranak-pinak gerimis. Â Luruh ke bumi dalam bentuk tangis.
Ikan dan padma berenang dan hidup di sana. Sepertinya baik-baik saja. Air matamu banyak menumbuhkan alga. Itulah sebabnya mereka bahagia.
Walau sebagai pemilik mata yang menggenangi telaga itu dengan air mata, kau lupa bahwa kata bahagia masih ada dalam kosakata. Di dunia.
Kau lupa atau sengaja melupakannya. Entah yang mana.
Sekali lagi. Katakan bahwa itu air matamu yang terakhir. Tidak mesti juga jika yang berikutnya adalah tawa. Lebih tepat jika kau sebut tidak lagi berduka. Sesederhana itu saja.
Bahagia? Itu nanti saja. Â
Jakarta, 18 September 2018