Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tiga Kesaksian Waktu

16 September 2018   19:03 Diperbarui: 16 September 2018   19:14 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kau punya tiga kesaksian waktu.  Untuk mengurai semua kebisingan yang meruyak di kepala.  Sehingga kau perlu mengalirkannya ke aras nyata.  Tiga kesaksian yang merupakan aktor utama bagi semua cerita yang hendak kau tuang, kau buang, atau kau cincang;

1) Kesaksian Pagi

Kau menuntun tatapan ke arah cahaya yang memilih memutari sergapan daun-daun cemara.  Jatuh di sela-selanya.  Memantulkan kesungguhan akan awal mula terjadinya banyak peristiwa.  Di antaranya ketika kau menjerang mimpi buruk semalam.  Tentang menyatunya kelam, balam dan ruam.  Dalam satu ingatan buram. 

Tepat pada titik didih tertinggi, kau angkat mimpi buruk yang telah matang, kau masukkan dalam pinggan yang tersedia di atas nampan, selanjutnya kau bawa ke meja perjamuan.  Mimpi buruk mesti dikunyah.  Bukan ditelan mentah.  jika tidak, maka akan terjadi buruk mimpi harapan dibelah.

2) Kesaksian Senja

Saat senja berubah warna karena cuaca sedang menggila, kau mengira-ngira mengenai ketiadaan yang membuatku justru terasa ada.  Kau pikir itu semacam rasa kehilangan.  Padahal jelas bukan.  Itu adalah puncak dari kesepian.

Kau berusaha mendaki dengan sisa tenaga yang ada.  Kau cukup kelelahan sampai akhirnya kau memutuskan meminjam kekuatan dari kata-kata yang menderas kala hujan.  Hujan memang sumber dari segala hal romantis.  Entah kenapa.  Barangkali karena di dalam ruang hujan terdapat gerimis.  Gerimis mudah saja melahirkan suasana ritmis yang bernuansa magis.  Romantis ada di antaranya.  Bukan di salah satunya.

3) Kesaksian Dinihari

Di sinilah kau meletakkan cermin yang benar-benar bening.  Mencoba mencari kebenaran di antara carut marut kekacauan.  Seperti kabut, kau tak membiarkan satu malampun luput.  Dalam kesaksian ini, kau berharap ada bisikan halus dari angin dingin yang datang mengelus.  Sudah cukupkah aku bersujud atau masih kurangkah aku menekuk lutut?

Tentu saja kau tak boleh mengiba.  Apalagi meratap.  Mengiba itu awal mula dari cela.  Sedangkan meratap adalah pembukaan dari menghujat.  Serahkan saja hatimu pada kesaksian dinihari.  Tak perlu menampik mimpi yang terjadi.  Tapi juga tidak menerima begitu saja apa yang ditawarkan oleh sunyi.

Bogor, 16 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun