Melewati gundukan awan rapuh yang sepertinya mau runtuh. Â Di ruang tanpa sekat pada langit yang terbuat dari kaca. Â Aku melihat keluar jendela. Â Siapa tahu aku bisa menemukan kita di sana. Â Aku yang merupa pecahan kecil dari kaca sedangkan kau sedang bercermin di bawahnya.
Atau jika kau ingin hal yang berbeda. Â Biarlah aku menjadi awan yang luruh, sedangkan kau di bawah sana menengadah cemas sambil mencoba menadah aku yang terjatuh.
Dan aku jatuh tepat di wajahmu. Â Mengaliri garis sungai di pipimu. Â Menikmati sedu sedan yang menggelombang di dadamu. Â Aku rasa aku sedang mencumbumu.
Kau menyecap rasa asin tubuhku yang menyelinap di sela bibir merahmu. Â Kau terpana dengan mulut ternganga; ini hujan atau airmata?
Aku hendak berucap. Â Tapi aku urungkan niatku untuk menjawab. Â Aku yang dijatuhkan oleh langit yang terbuat dari kaca sudah semestinya berahasia. Â Hujan dan airmata adalah rahasia terbesar yang harus dijaga. Â Jika sampai terbuka, maka tak akan ada lagi misteri mengapa hujan airmata selalu terjadi. Â Setiap kali mata disuguhi bukti kehancuran hati.
Aku tak tega. Â Sebaiknya aku menguap saja. Â Sampai nantinya kau menyadari bahwa aku sebenarnya hujan yang digarami oleh airmata, singgah sejenak di matamu yang berkaca-kaca, sebab kehilangan semua cahaya yang dicecap kembali oleh langit yang terbuat dari kaca.
GA 179, 14 September 2018