Bagaimana tidak? Â Kutenggak habis semua mimpi buruk yang mencair. Â Sampai kerongkonganku terbakar oleh teriakan dajjal. Â Aku mabuk oleh kata-kata murka. Â Sempoyongan jatuh di selokan. Â Berlumuran lumpur. Â Sekujur badan.
Begitu terbangun. Â Matahari sudah tinggi. Â Menguapkan isi kepala. Â Menjadi drama-drama besar. Â Tentang kekacauan, keributan dan pertengkaran. Pemerannya seorang bajingan yang sempurna. Â Aku yang sesungguhnya.
Drama-drama itu dipertontonkan tanpa bayaran. Â Tepuk tangan membahana. Â Di pagi yang sederhana, namun harus menyaksikan kerumitan yang mengada-ada. Â Dari seorang bajingan yang pikirannya dituangi ampas kopi. Â Pekat. Â Sama sekali tak berkhidmat.
Aku mengumpulkan bisu. Â Menjejalkan semua di tenggorokan. Â Jika tidak, sumpah serapah bisa berhamburan. Â Dijadikan sarapan. Â Lalu dimuntahkan. Dalam bentuk kalimat-kalimat menjijikkan.
Sebagai seorang bajingan yang sempurna. Â Aku tidak boleh membuatnya cacat. Â Semisal mengakrabi embun yang sekarang di hadapanku sedang melamun. Â Nyaris terjatuh dari permukaan daun. Â Mestinya aku taburi jelaga yang keluar dari angkara. Â Supaya embun itu tidak lagi menyejukkan mata.Â
Aku tidak melakukannya. Â Karena aku pikir seorang bajingan yang sempurna pun, butuh kebaikan meski cuma satu saja. Â Untuk mengingatkan bahwa dunia ini masih ada. Â Baginya.
Bogor, 11 September 2018
Â