Pagi yang hangat. Â Di pinggiran kali yang nyaris mampat. Â Kau menemukan aku meringkuk di antara batu. Â Mencoba sekerasnya menyembunyikan diri dari pencarianmu. Â Aku mengira kau diberi tumpangan cahaya matahari. Â Sebab aku lihat bayanganmu memantul di permukaan air yang menepi.
Batu tempatku meringkuk. Â Adalah masa lalu yang berlubang lekuk. Â Dihujani kenangan setiap waktu. Â Terkadang merintik pelan seumpama jalan kecomang. Â Tak jarang pula menderu deras seperti barakuda lintang pukang. Â Dikejar gelombang. Â Berbuih tajam.
Kau salah. Â Cinta tak pernah hancur menjadi remah. Â Cinta hampir selalu utuh. Â Kecuali jika terus saja dibanjiri kutuk dan rutuk. Â Maka dia akan berubah bentuk. Â Mungkin saja menjadi kemarau. Â Apabila kau memilih musim cinta yang kacau. Â Atau bisa juga menjadi mumi. Â Jika kau berupaya membekukannya dalam sunyi.
Di pagi yang hangat ini. Â Setelah menemukanku tumbuh bersama lumut di batu yang berkerut. Â Tetaplah menjadi air yang tetap hadir mengalir. Â Pada setiap pusaran dan tikungan. Â Di pusaran kau tenggelamkan kepedihan. Â Di tikungan kau belokkan kesepian. Â Ke dalam kerinduan.
Bogor, 18 Agustus 2018