Kalau kau pikir aku adalah pencumbu masa lalu. Â Datang kepadamu hanya karena ingin kembali mencicipi keratan mimpi yang tak jadi. Â Maka kau salah mengerti. Â Aku datang karena panggilan hati. Â Dia menyuruhku tergesa-gesa menjemput dinihari.
Kau tahu, dinihari tak ubahnya istana bagi mimpi. Â Di sana, mimpi didaulat menjadi pangeran dan tuan putri. Â Mimpi hidup berkecukupan. Â Sebab di kenyataan, mimpi selalu saja kekurangan.
Aku mengakui sebagai pesuruh hati. Â Hendak menimang kesungguhan. Â Apakah betul bisa dibesarkan menjadi kepastian. Â Terkadang kesungguhan hanya sanggup tumbuh di halaman belakang. Â Tak terlihat orang. Â Tak nampak dari depan.
Hati juga menyuruhku agar berhati-hati. Â Katanya jangan sekali-kali terpeleset pada licinnya debu kemarau. Â Debu bisa menutupi pandangan. Â Pada akhirnya melahirkan kekacauan. Â Dengan suara tangisan.
Jika pada saatnya kau juga dijadikan pesuruh hati. Â Datanglah kepadaku. Â Aku akan mengajarimu bagaimana cara memindahkan kepastian ke halaman depan. Â Cukup dengan menumbuhkan keyakinan. Â Pada betapa licinnya hujan kenangan.
Bogor, 10 Agustus 2018