Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cara-cara Menanti Hujan

1 Agustus 2018   18:38 Diperbarui: 1 Agustus 2018   19:01 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesuai dengan keinginanmu. Menyemai banyak warna abu-abu. Hendak kau sumbangkan cuma-cuma. Kepada mendung berkebaya putih yang bersahaja. Kau sedang mengharap kedatangan hujan. Tanpa perlu ketuk pintu atau uluk salam.

Memang begini. Hutang pada kemarau mesti dilunasi. Dari sepuluh macam bunga yang kau tanam, tujuh di antaranya mati. Jangan coba-coba menghidupkannya. Akan sia-sia. Itu jenis pekerjaan yang hanya datang dari surga.

Kecuali melati. Bunga itu bersedia dengan senang hati menanti. Kuncup-kuncup kecil itu tersembunyi di ketiak sunyi. Menunggu gerimis meledakkan tangis. Pada episode musim yang teriris habis.

Begitu pula kemuning. Pada setiap kerlingnya yang terkurung hening. Tersirat sapa ramah. Memang bunganya belumlah menuntaskan satupun kisah. Namun bunga juga bercita-cita. Bagaimana kisahnya kelak akan melegenda.

Tak kurang juga rumpun kemangi. Mengabarkan wangi demi bersua mimpi. Dan kabar itu sampai juga kepada senja, yang lalu mendamparkan jingga. Di permukaan langit yang mulai memekat. Semua pada akhirnya sepakat, hujan memang tak boleh datang terlambat.

Pekanbaru, 1 Agustus 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun