Kuberi kau satu petunjuk. Dimana persisnya letak telunjuk. Saat kau ingin menuding biang perkara. Penyebab senja kali ini begitu merana.Â
Buanglah tatapanmu ke arah langit yang terhuyung-huyung. Orang bilang langit sedang nandang wuyung. Terhadap apa. Kepada siapa. Tak satupun yang sanggup menerka.
Kau tak akan pernah menduga. Kepada siapa langit akhirnya memutuskan jatuh cinta. Dengan alasan apa pula langit nampak menderita.
Patah hati. Â Bisa jadi. Putus asa. Â Mungkin saja. Ketika langit jatuh cinta, dengan perantara hujan yang bersedia menjadi mata-mata, birunya lalu bertekuk lutut, separuh hatinya tercerabut;
1) Kepada seorang anak kecil yang bersenandung lirih. Menyebut nama kedua orang tuanya dengan bibir bergetar. Menyerupai doa yang diterbangkan ke angkasa. Berharap doanya sampai di gerbang surga. Menemui kedua orang tuanya di sana.
2) Kepada seorang wanita yang sibuk mengumpulkan air susunya yang tumpah. Demi bayinya yang juga mengumpulkan tangis di rumah. Hasil memulungnya hari ini. Tak cukup untuk membeli sekaleng susu. Tapi mulutnya mengulum senyum. Bersyukur masih bisa mengumpulkan batu-batu. Untuk menghidupi sebuah tungku.
3) Kepada seorang nenek yang terpeleset air kencingnya sendiri. Di depan sebuah rumah sakit besar yang nampak kokoh dan sakti. Nenek itu mengelus trotoar tempatnya berbaring. Ucapkan terimakasih telah sudi menerimanya bermalam. Menunggu waktu yang beku. Â Dicairkan matahari.
Langit bukan pemilih yang rumit. Langit tahu persis apa itu pahit. Â
Ketika langit memutuskan untuk jatuh cinta. Maka di situlah letak sesungguhnya dari rasa iba, yang tak pernah mengada-ada.
Bogor, 26 Juli 2018