Ketika seluruh dunia berkata tidak. Â Bukan berarti surut langkah lalu darah tercampak. Â Tunduk bersimpuh seperti abdi dalem yang patuh. Â Menyerah kalah pada musuh. Â Musuh yang menyelinap dalam kepala. Â Menyuntikkan semacam bisa yang disebut putus asa.
Puputan. Â Adalah satu-satunya pilihan. Â Tak ada waktu lagi kalau hendak bersembunyi. Â Apalagi jika berniat masuk hingga kedalaman tempurung sunyi. Ini tak ubahnya dengan pawang hujan yang tak mau kebasahan. Â Setelah angin memenangkan pertarungan.
Cerita tak akan berakhir jika tak dimulai. Â Jadi teruslah merangkak, meski kegelapan enggan melunak. Â Teruslah berusaha berdiri, meski angin ribut tak henti membuat jeri. Â Teruslah berlari, meski lumut dan batu berniat menyandung kaki.
Di setiap kelumpuhan ada sayap yang bisa menggantikan. Â Di setiap kebutaan ada cahaya yang sanggup mencarikan jalan. Â Di setiap tuli ada suara-suara yang berbisik membahagiakan. Â Di setiap kejatuhan selalu ada pijakan untuk membangkitkan. Â Di setiap labirin selalu ada jalan keluar. Â Tinggal seberapa banyak keringat yang dipersembahkan untuk menguar.
Ketika seluruh dunia berkata iya. Â Tidak lantas itu berarti bahagia. Â Puputan adalah satu-satunya cara. Â Menjadi hulubalang penjaga agar bahagia bukan lagi rahasia.
Jakarta, 23 Juli 2018