Tahukah kamu jalan pulang? Â Karena terkadang kamu harus menerima jika suatu saat tersesat. Â Berbelok ke arah yang salah, atau berbalik ke belakang tanpa tujuan, atau terlalu banyak berhenti untuk sekedar menimbang-nimbang. Â Di situlah sebenarnya letak kuasa bimbang. Â Membuat siapapun lupa jalan pulang.
Pulang bagi seekor elang adalah sampai pada sebuah sarang. Â Di puncak kanopi tertinggi. Â Tepat di anak tangga pertama pelangi. Â Menjumpai cicitan riuh anak-anaknya menyodorkan paruh. Â Menuntut cabikan kelinci atau ikan utuh.Â
Pulang bagi seekor harimau adalah pada kelebatan belukar. Â Di hutan yang tidak terbakar. Â Bebas menghirup bau babi atau rusa. Â Bukan sengatan bau jelaga.
Pulang bagi titik air adalah pada siklus kejadian embun, awan, dan hujan. Â Singgah pada setiap fasenya. Â Tidak melompati salah satu di antaranya. Â Sebab itu berarti ada musim yang menghilang paksa. Tersayat oleh beberapa perkara yang dibuat manusia.
Pulang bagi cahaya adalah pada kegelapan. Â Di permukaan malam, potongan dinihari, kilasan gerhana, atau kepakan sayap kunang-kunang. Â Di sanalah cahaya disebut cahaya. Â Bukan sekedar cenderamata dari sebuah frasa.
Pulang bagiku adalah menuju tempatmu menunggu. Â Entah di sebuah dangau yang bisu. Â Atau halte yang gaduh. Â Atau terminal yang rusuh. Â Pulang itu berarti sampai kepadamu. Â Menatap matamu, menangkap senyummu, dan memeluk hangat tubuhmu.
Pulang bagi kita semua adalah mengendarai keranda. Â Meninggalkan semua yang dicinta. Â Kembali pada asal muasal diciptakan. Â Diberi label nama batu nisan. Â Menjumpai malaikat yang dulunya tak terlihat. Â Sedang memegang cemeti dengan senyum dan pedih bergantian semburat.
Sarolangun, 18 Juli 2018