Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pulang

18 Juli 2018   07:12 Diperbarui: 18 Juli 2018   07:09 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tahukah kamu jalan pulang?  Karena terkadang kamu harus menerima jika suatu saat tersesat.  Berbelok ke arah yang salah, atau berbalik ke belakang tanpa tujuan, atau terlalu banyak berhenti untuk sekedar menimbang-nimbang.  Di situlah sebenarnya letak kuasa bimbang.  Membuat siapapun lupa jalan pulang.

Pulang bagi seekor elang adalah sampai pada sebuah sarang.  Di puncak kanopi tertinggi.  Tepat di anak tangga pertama pelangi.  Menjumpai cicitan riuh anak-anaknya menyodorkan paruh.  Menuntut cabikan kelinci atau ikan utuh. 

Pulang bagi seekor harimau adalah pada kelebatan belukar.  Di hutan yang tidak terbakar.  Bebas menghirup bau babi atau rusa.  Bukan sengatan bau jelaga.

Pulang bagi titik air adalah pada siklus kejadian embun, awan, dan hujan.  Singgah pada setiap fasenya.  Tidak melompati salah satu di antaranya.  Sebab itu berarti ada musim yang menghilang paksa. Tersayat oleh beberapa perkara yang dibuat manusia.

Pulang bagi cahaya adalah pada kegelapan.  Di permukaan malam, potongan dinihari, kilasan gerhana, atau kepakan sayap kunang-kunang.  Di sanalah cahaya disebut cahaya.  Bukan sekedar cenderamata dari sebuah frasa.

Pulang bagiku adalah menuju tempatmu menunggu.  Entah di sebuah dangau yang bisu.  Atau halte yang gaduh.  Atau terminal yang rusuh.  Pulang itu berarti sampai kepadamu.  Menatap matamu, menangkap senyummu, dan memeluk hangat tubuhmu.

Pulang bagi kita semua adalah mengendarai keranda.  Meninggalkan semua yang dicinta.  Kembali pada asal muasal diciptakan.  Diberi label nama batu nisan.  Menjumpai malaikat yang dulunya tak terlihat.  Sedang memegang cemeti dengan senyum dan pedih bergantian semburat.

Sarolangun, 18 Juli 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun