Tunggulah sebentar. Â Tunggu di tempat kita biasa saling berkabar. Â Duduk di serambi muka sambil menulisi udara dengan kata-kata; kalapagi ingin bertukar wajah dengan senja. Â Mari kita bertukar hati sembari mengkonfigurasi frasa mana yang paling tepat untuk menyampaikan cinta.
Kala itu, kau tersenyum maklum. Â Barangkali kau menganggapku gila. Â Padahal tentu saja aku tidak gila. Â Aku hanya sedikit kehilangan kewarasan. Terbawa arus kencang udara malam yang menampar muka. Â Karena melihatmu saja aku sudah cukup bahagia.
Kemudian kita sama-sama tertawa. Â Mentertawakan keinginan yang bertingkah seperti Mimosa pudica. Â Tersipu pura-pura. Â Padahal tanpa disadari, berbagai macam bunga bermekaran di semua lubang pori-pori.Â
Ingatkah waktu itu kau menyodorkan teka teki paling pelik. Â Kau bilang pilih mana kamu antara angin yang berisik atau pasir berbisik? Â Saat itu aku tak sanggup menjawabnya. Â Karena aku pikir angin yang berisik adalah badai. Â Aku tak mau berada di dalamnya. Â Sementara pasir berbisik adalah suara yang tak kedengaran. Â Aku tak mau berjalan dalam ketidakpastian.
Baiklah. Â Sebaiknya sekarang kita sama-sama berikrar. Â Mumpung matahari sudah cukup membakar. Â Kesinikan tanganmu. Â Aku ingin merajahnya dengan gambar sayap kupu-kupu. Â Bukan elang. Â Sebab kepakan sayapnya terlalu kencang. Â Aku tak ingin momen sakral ini menghilang.
Ucapkan ini; aku mencintai karena aku meyakini. Â Seperti keyakinan air terhadap api. Â Memadamkan percikan sunyi tapi sekaligus mencegahnya menghanguskan hati.
Jakarta, 16 Juli 2018