Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dendam

10 Juni 2018   20:18 Diperbarui: 11 Juni 2018   00:23 2358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku bermimpi lautan kering kerontang.  Perahuku terdampar di tengah-tengah.  Tersangkut di antara dua batu karang yang menjulang," seorang nelayan setengah baya bercerita kepada temannya yang sedang memperbaiki jala.

"Terus? Ikan-ikannya pada kemana?"  Temannya menjawab seadanya sambil terus fokus pada jalanya.

"Dalam mimpiku, ikan-ikan pindah ke daratan.  Siripnya berubah menjadi kaki. Insangnya hilang digantikan hidung dan paru-paru.  Mereka berjalan seperti manusia.  Tapi tetap dengan sisik di punggungnya.  Ukurannya, hampir tiga kali lipat biasanya."

Temannya menghentikan gerakan tangan pada ayunan jarum dan benang.  Mulai tertarik dengan cerita mimpi si nelayan tua.  Memutuskan untuk bertanya;

"Lalu? Apa yang terjadi kemudian.  Apakah mereka berbaur hidup dengan manusia?"

"Tidak.  Mereka justru berburu manusia sebagai mangsa," jawaban yang mengejutkan.

"Mimpimu gila kawan!  Mengerikan!  Semoga itu tidak terjadi."

-----

Dan memang itulah yang akhirnya terjadi.  Dunia gempar!  Berbagai jenis ikan kini hidup di daratan.  Berburu manusia sebagai mangsa.  Belut listrik menyengat korbannya hingga hangus sebelum menelannya bulat-bulat.  Gurita melilit dengan tentakelnya.  Meremukkan tulang.  Hiu putih dan paus pembunuh menjelajahi kota demi kota.  Tak mengenal kenyang.  Menghabiskan sekian banyak manusia setiap harinya.

Manusia mencoba bertahan.  Sekuat tenaga.  Tapi percuma.  Senjata-senjata mutakhir dan canggih tidak ada artinya karena sudah diredam oleh serbuan jutaan ubur-ubur berbisa.  Dunia masuk dalam situasi chaos sejadi-jadinya.

Manusia lari dan bersembunyi dalam hutan yang tersisa.  Makhluk-makhluk jelmaan ikan itu punya juga satu kelemahan.  Mereka sama sekali tidak berani memasuki hutan.  Entah karena apa, yang pasti tidak pernah ada kejadian manusia diburu sampai dalam hutan dan dimangsa.

-----

Namun karena hutan yang tersisa tinggal sedikit, tak cukup ruang bagi manusia untuk bersembunyi di dalamnya.  Tak sampai seperseratus dari populasi saja.

Alhasil, jutaan manusia harus berlari kesana kemari.  Setiap hari.  Menghindar dari perburuan yang menakutkan.  Makhluk-makhluk itu berburu manusia bukan karena kebutuhan untuk makan.  Tapi lebih mirip pada pelampiasan dendam.

Semakin lama populasi manusia semakin sedikit.  Dunia dikuasai ikan.  Tidak ada negara.  Tidak ada pemerintahan.  Total kekacauan.

Manusia yang masih bertahan adalah yang mengungsi ke dalam hutan.  Meskipun jumlahnya hanya jutaan, namun karena kebutuhan, dirambahlah hutan yang tersisa menjadi pemukiman, ladang dan kebun untuk memenuhi kebutuhan makan.

Pinggiran hutan dibiarkan utuh agar makhluk-makhluk jelmaan ikan itu tidak bisa masuk.  Namun tengah-tengah hutan berlubang sana sini karena ekspansi.  Kayu-kayu ditebangi, mata air di lubangi, sungai dibendung, dan sulur rotan dihabisi.

Dalam proses bertahan hidup ini, manusia kembali pada kebiasaan lamanya.  Penghuni hutan yang asli harus menyingkir karena diusir.  Bahkan hewan-hewan itu diburu untuk memenuhi kebutuhan akan daging.  Dunia lama berputar ulang.  Di dalam hutan.

Manusia-manusia yang selamat memulai kehidupan baru.  Di dalam hutan yang tidak lagi bisa disebut hutan.  Tumbuh menjadi desa dan perkampungan. 

-----

Nelayan dan temannya yang dulu memulakan kisah penuh anarki ini berubah profesi menjadi petani.  Mereka adalah sedikit dari orang yang berhasil melarikan diri ke hutan terdekat bersama keluarganya.

Di sebuah pagi yang cerah sebelum memulai aktifitas menanam padi ladang, keduanya bercakap-cakap sejenak untuk menghilangkan kerinduan akan kampung halaman dan juga lautan.

"Aku bermimpi tadi malam.  Aneh dan mencekam!" petani tua bekas nelayan itu membuka percakapan.

Temannya berjengit mengangkat muka.  Teringat percakapan mereka lima tahun yang lalu.  Percakapan yang ingin dilupakan.  Karena waktu itulah semua kekacauan dimulai.  Tak urung dia tetap bertanya dengan hati-hati.

"Mimpi apa?  Bukankah mimpi kita sebagai manusia sudah dihancurkan makhluk-makhluk ikan itu?  Mimpi kita sekering lautan yang mereka tinggalkan untuk balik berburu kita..."

Petani tua itu menghela nafas sepanjang-panjangnya.  Kengerian yang luar biasa nampak membias di matanya yang lelah.

"Aku bermimpi semua hewan-hewan hutan yang sudah diusir itu kembali.  Mereka berubah menjadi makhluk yang berakal dan bernalar.  Mereka kekurangan makanan di tempat persembunyian dan sekarang menjadikan kita sebagai sasaran."

"Sasaran? Maksudmu?"  temannya bertanya menegaskan.

Petani tua itu mengangkat muka.  Raut mukanya sepucat kapas.

"Mangsa!  Kita adalah sasaran mangsa bagi mereka.  Mereka sangat kelaparan.  Dan juga dendam tak berkesudahan.  Seperti ikan-ikan itu dahulu!"

Temannya menatap tak berkedip.  Was-was.

"Mimpimu gila kawan!  Mengerikan!  Semoga itu tidak terjadi."

-----

Dan memang itulah yang akhirnya terjadi.

----

Bogor, 10 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun