Tidak ada yang baik-baik saja. Â Ketika kau merasa bunga kopi mengguruimu tentang wangi lalu kau marah sekali dan memutuskan bahwa bau bunga pinus itulah yang terseksi. Â Apalagi saat kau minta hujan menyiram laut sebanyak-banyaknya karena kau anggap asin itu sudah keterlaluan dan perlu dikurangi.
Semuanya terasa tak masuk akal. Â Kau jemur bantal yang kau bilang membuatmu bermimpi buruk sehingga perlu dianginkan dan dipanaskan karena pikirmu mimpi itu dimulai dari saat kau sandarkan kepalamu pada seonggok kapas yang membuatmu mual.
Begitu juga ketika kau berlarian menghindari berondongan pertanyaan tak pernah selesai dari koma tentang kapan sebenarnya titik menuju usai. Â Itu tidak adil. Â Kau tinggal mengangguk dan menggeleng saja. Â Tak perlu sampai meninggalkannya. Â Seolah-olah tanda baca tak lagi kau perlukan untuk mengakhiri kata-kata.
Kekhawatiranmu yang berlebih pada suara yang menggaduhi isi kepala membuatmu sengaja melewatkan kenikmatan tiada tara saat suara seruling anak gembala berusaha memasuki telinga. Â Padahal kau melewatkan dendang jenang gula yang bercerita tentang kesetiaan terhadap cinta. Â Sebuah pelajaran berharga kau lewati begitu saja.
Seperti sajak ini. Â Tidak menyimpulkan apa-apa namun menuduhmu begitu rupa. Â Sama saja. Â Sia-sia.
Pekanbaru, 8 Juni 2018
Â