Entah apa yang berkeliaran dalam benakmu. Â Kau bongkar habis pagar yang membatasi. Â Kau caci semua yang ada di hadapanmu. Â Meja, kursi, pintu, dan kelambu, habis menjadi sasaran kemarahanmu.
Bukan dengan serapah atau ludah. Â Tapi dengan kata-kata menyengat seperti lebah. Â Kau bilang meja sebagai tempat perjamuan sia-sia. Â Bukankah lebih nyaman menghampar sajian di atas daun pisang. Â Daripada susah payah membeli kaca yang seharusnya menjadi tempat bercermin wajah.
Bukankah lebih mudah duduk saja di atas tanah. Â Daripada mesti bersulit-sulit mengangkat dan membetulkan pantat. Â Duduk di atas kayu belah yang kemudian disusun kembali dengan paku dan pahat.
Bukankah lebih enak tak berdaun pintu. Â Sehingga rumah gampang dimasuki udara sesegar mawar, sehangat perapian dan semanis nira. Â Daripada mesti menghalanginya dengan bilah papan berperekat kimia.
Bukankah kelambu itu seperti bubu. Â Memerangkap diri dalam kepiluan. Â Di dalam jeratan mimpi tak bergambar dan tak berkesudahan. Â Lebih baik menulisi malam. Â Menggunakan kuas dan kanvas di dinding pikiran. Â Menjadi mural dan grafitti berkeindahan.
Bogor, 28 Mei 2018