Secangkir kecil kopi menyudahi lamunan. Â Sekujur urat syaraf dipermainkan. Â Pada malam yang menggapai-gapai mencari pegangan. Â Tubuhnya goyah mencari arah kemana gelapnya mesti tumpah.
Kopi ini menggunakan dua pemanis buatan. Â Satu, dari kenangan ketika diayun lembut lengan ibunda. Â Dua, ketika disapa oleh cinta yang dikirim oleh gelombang pantai laut utara.
Lahirlah skenario berdurasi lama. Â Tentang kasih ibu yang tak lekang dipanggang usia bumi. Â Juga tentang cinta seorang perempuan yang tak bisa usang sebab dilapisi cahaya matahari.
Sutradaranya adalah takdir. Â Memerintahkan tayang apabila ingatan telah selesai dibasuh. Â Atas kerinduan yang sengaja diciptakan di antara kerumunan lusuh dan peluh.
Kameranya difokuskan pada hujan yang sebentar lagi datang. Â Menyorot sebidang tanah yang banyak ditumbuhi ilalang. Â Didesak oleh angin. Â Lengan-lengan tajamnya lalu terpelanting.
Pengambilan gambar dihentikan. Â Serta merta. Â Hujan ternyata tidak merata. Â Memilih tempat-tempat yang sedang sakit. Â Layu dan kekeringan.
Setelah semua adegan dianggap utuh. Â Tirai panggung dibuka perlahan. Â Memperlihatkan para pemerannya kebingungan. Â Mata jelalatan kesana kemari. Â Mencari-cari. Â Apakah benar peran yang dilakoni selama ini. Â Atau jangan-jangan semua ini adalah terjemahan bebas dari mimpi.
Bogor, 25 Mei 2018