Tengah malam. Â Perempuan itu memunguti sisa-sisa hujan. Â Disimpannya bersama gemericik kerinduan. Â Terus mengalir mengalahkan arus sungai. Â Setelah badai.
Cawan dan gelas dijajarkan. Â Di atas meja. Â Tempat biasanya menjamu sunyi. Â Di situlah letak serpihan hati. Â Dari kenangan demi kenangan yang dikumpulkan. Â Bersama waktu yang minta jangan dilupakan.
Lemari yang disusun dari rak-rak kayu. Â Banyak buku. Â Perempuan itu mengambil salah satu. Â Membacanya sebelum tidur. Â Berulang membaca judulnya yang sudah berjamur. Â Namun maknanya tak pernah luntur; sunyi itu mati, tapi ramai lebih lagi mencederai.
Perempuan itu menyalakan lampu. Â Menerangi ingatannya pada sebuah kisah lama. Â Tentang airmata yang tak lagi mengkristal di pipi. Â Namun berjatuhan di lantai serupa butiran es beku.
Merawat luka. Â Lalu membesarkannya hari demi hari. Â Atas nama perjamuan. Â Kehidupan yang terlewatkan. Â Begitu saja. Â Tanpa rencana. Â Ataupun ujungnya hendak kemana.
Perempuan itu meraih gelas berisi kisah yang lain. Â Tentang kegaduhan yang sengaja diberi pengeras suara. Â Agar sekedar lupa. Â Dirinya terjebak dalam suasana tak mematikan. Â Namun jelas membosankan.
Bangkit perlahan dari terbaringnya sejak dinihari. Â Perempuan itu menyiapkan lagi satu perjamuan. Â Mengundang keramaian yang berbeda. Â Dan masih terjaga. Â
Sajian utamanya sunyi. Â Demi semua kenangan yang hendak dijahitnya dalam mimpi. Â Sembari berharap esok pagi memberinya kesempatan untuk menyelesaikan sebuah puisi; sunyi boleh datang kapan saja, tapi dia akan menggaduhinya dengan cinta.
Bogor, 20 Mei 2018