Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gerimis yang Ritmis

21 April 2018   19:02 Diperbarui: 21 April 2018   19:07 2810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan memainkan not-not balok bernada major yang terdengar begitu gagah sampai-sampai malam menghentikan kegelapan untuk sekedar mendengarkan.  Dengan seksama.  Memastikan apakah ada ajakan untuk tertawa.  Di atas sana langit begitu murung.  Memperlihatkan wajah sendu terkurung mendung.

Memang tinggal gerimis.  Tapi iramanya yang ritmis mengiris tak habis-habis.  Menyuarakan kesunyian.  Bertempiasan di bibir pelataran.  Memperingatkan akan kesendirian.  Bagi sebagian orang yang kehilangan jejak kenangan.  Terhapus aliran air yang meluncuri jalanan dan selokan.

Jika nanti gerimis ini berhenti.  Menyisakan nada-nada ringan tentang sepi.  Wajah langit niscaya membias terang.  Siap kembali berbicara tentang bintang-bintang.  Atau mungkin kunang-kunang yang tersesat jalan.  Atau bisa juga bulan yang berkeliaran sendirian.

Apabila gerimis bertahan semalaman.  Itu tanda kebahagiaan sedang dibagi-bagikan.  Bagi keringnya hati.  Bagi tanah yang nyaris mati.  Bagi halaman yang ingin melatinya berbunga esok hari.  Bagi remang-remang yang berdoa sekuatnya agar pagi datang tepat waktu menyinari.

Bogor, 21 April 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun