Menuliskan lagi sebuah puisi. Â Di sini. Â Di sebuah tempat dimana air mengucur menimpa bebatuan. Â Memercik ke segala arah. Â Membuat basah daun bakung yang menjuntai rendah. Â Sudah beberapa jeda mataku menatap dengan pandangan terbata-bata. Â Ini semua begitu indah.
Aku teringat kamu. Â Waktu itu. Â Di pesisir yang porak poranda karena pasirnya dipermainkan lidah angin. Â Kemudian tiba-tiba puncak gelombang mendatangi secepat jilatan api pada minyak yang tumpah pada sehamparan ilalang kering. Â Menenggelamkan kisah yang coba kita bangun perlahan melalui langkah kecomang.
Kembali lagi. Â Di sini. Â Di hadapan kolam ikan yang menyajikan riak kecil sewaktu ikannya berusaha melompati sunyi. Â Langsung mengalirkan keramaian tak kira-kira gaduhnya di dalam hati. Â Karena itu bersuasana sama ketika kau membaca keras-keras puisi yang aku tuliskan kala pertama aku jatuh cinta. Â Kepadamu yang belum aku beri nama panggilan saat itu.
Senada dengan bisikan lirih cuaca. Â Menggiring sekumpulan mendung berwarna abu-abu menuju tempatku terpaku. Â Sepertinya hujan akan ditumpahkan tanpa aba-aba. Â Membubarkan lamunan berpanjang-panjang tentang keributan kenangan yang sekali waktu memang harus tiba. Â Pada tempat yang sesungguhnya.
Jakarta, 17 April 2018