Pagi yang ramah. Â Meniupkan wajah putri malu. Â Menunduk ketika disapa orang-orang yang bergegas menuju tempat kerja. Â Cuaca sebagai sajian utama? Hangat dan bahagia.
Laju kereta menarikan ketetapan hati. Â Rela membawa jejalan keinginan dalam gerbong yang sama. Â Untuk selanjutnya berpencaran ke titik-titik yang berbeda. Â Berhenti di setiap stasiun untuk mengangkut lagi lebih banyak mau. Â Menuju gaduh maupun sunyi yang telah menunggu.Â
Ini cerita tentang kota. Â Bagaimana hari-harinya terlewati dengan cukup sederhana. Â Sebelum pada akhirnya disusupi ambisi, emosi dan telikung kanan kiri. Â Peduli adalah kosakata kesekian setelah aman, nyaman dan berlebihan.
Cerita tentang kota mempunyai episode tiada akhir. Â Seperti satu judul opera sabun yang licin dan sering terlepas, untuk kemudian dipakai lagi. Â Lintang pukang, centang perenang, hiruk pikuk, asyik masyuk, baik buruk, berkelindan bergantian. Â Kota adalah aktor utama dengan orang-orang sebagai figuran. Â Sekedar lewat, tampil, berjaya, gila atau mati.Â
Kota sering mencitrakan dirinya sebagai Sri Rama. Â Tenang, baik hati dan pengejar cinta abadi. Â Padahal sesungguhnya lebih tepat jika disebut jelmaan Rahwana. Â Rusuh, gaduh, berpeluh, sekali waktu akan runtuh.
Babak-babak drama tidak pernah usai. Â Kota adalah penguasa, sutradara, sekaligus mata badai. Â Skenarionya dituliskan oleh keringat, airmata, jumawa dan rasa lalai. Â Ada bahagia di antaranya. Â Tapi itu hanya untuk orang-orang yang memulai pagi dengan tawa.
Jakarta, 13 April 2018