Aku lupa sejak kapan aku suka menuliskan purnama. Â Dulu aku menganggapnya episode bulan yang biasa. Â Mencapai puncak bayangan matahari. Â Kemudian melukis tubuhnya dengan keinginan yang dipantulkan. Â Purnama tak lebih dari mata kuliah wajib yang harus diikuti. Â Lupa setelah selesai diuji.
Purnama bagiku bukan terjemahan cinta. Â Apalagi jika disebut liang sanggama bagi para pujangga dalam menyetubuhi waktu. Â Tidak sama sekali. Â Purnama tak lebih dari kelahiran bayi yang belum diberi nama. Â Menunggu bapa ibunya menyembelih upacara untuk mengumumkan bahwa itu anaknya.
Purnama disebut sebagai pengkhianat romantika. Â Barangkali itu karena romeo pernah mengendap-endap di lorong yang seharusnya gelap tapi malah tertangkap karena terlalu percaya bahwa juliet adalah bulan yang sempurna.
Purnama juga pencuri. Â Belum pernah diadili karena tidak pernah terbukti dia sengaja menyinari lautan tempat nelayan kehilangan ikan-ikan. Â Permukaan laut menjadi seperti kaca. Â Umpan dan kail yang dilepaskan jelas terlihat sebagai mata belati yang dihunus.
Purnama aku tuliskan untuk memenuhi kehendakku yang mengada-ada. Â Aku berharap banyak tulisanku bersinar karenanya. Â Padahal nyata-nyata semua karena makna dan tanda baca. Â Dimana puncak tertingginya dimahkotai titik beserta koma.
Mulai saat ini. Â Aku akan menghentikan menyebutkan purnama. Â Hanya akan menulisnya di hari ketika aku mengkhayalkan kegelapan berniat membunuhku.
Bogor, 31 Maret 2018