Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Malam Ketika Purnama Mengintip dari Kejauhan

25 Maret 2018   12:17 Diperbarui: 25 Maret 2018   12:51 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: mocapresente.net

Malam begitu istimewa.  Saat kau mencampurkan remah cahaya dengan satu sendok gula.  Mengaduknya dalam cawan tipis.  Kau umumkan bahwa itulah rasa manis.

Kau cicip seteguk sambil bertabik pada purnama yang mengintip di kejauhan.  Aku mengantuk katamu.  Tapi aku tak mau kehilangan sedikitpun kesempatan untuk bersirobok mata denganmu.

Malam kemudian menaiki tangga yang disediakan waktu.  Pukul sepuluh.  Saatnya menuliskan warna ungu bunga Teleng.  Di situ ada cerita tentang perempuan tangguh yang tak takut lagi menggeleng.

Suara gemericik air.  Memecah kebisuan dinihari.  Pukul dua.  Saatnya berjabat hati.  Dengan Sang Peniup Arwah yang selalu terjaga.  Atau pura-pura lupa pada orang-orang yang mengingatNya.

Suara burung hantu.  Menyatu dengan hening yang memekakkan telinga.  Bukan guntur maupun dengkur.  Bagi yang mau mendengar dengan jiwa.  Bukan untuk mereka yang cuma berharap mendengar kabar gembira.

Percikan cahaya.  Membentuk dirinya semakin utuh.  Dikumpulkan separuh demi separuh.  Oleh matahari yang peduli pada bulan.  Agar tak selamanya mengintip dari kejauhan.

Sampit, 25 Maret 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun