Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Takdir

25 Maret 2018   08:30 Diperbarui: 25 Maret 2018   09:53 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Takdirku adalah takdir kunang-kunang.  Pemilik cahaya kecil yang berkedip genit pada malam.  Aku tak diminta untuk menerbangi kegelapan.  Namun diperintahkan memberi sedikit terang.

Takdirku adalah takdir elang.  Menggaris udara dengan paruh setajam katana.  Namun tidak merobeknya.  Aku tak diminta menjadi sang perkasa.  Hanya disuruh menjadi penguasa angkasa.

Takdirku adalah takdir kupu-kupu.  Bersembunyi sebentar terhadap waktu.  Tak ingin dianggap menakutkan saat masih menjadi ulat bulu.  Keluar dari persembunyian ketika sepasang sayapku telah menjadi lukisan.

Takdirku adalah takdir hyena.  Meludahkan air liur kebuasan.  Ke tanah yang butuh keseimbangan.  Aku setara dengan singa.  Tapi aku tidak menganggap diriku raja.

Takdirku adalah takdir lebah.  Berburu warna bukan berburu bunga.  Aku menyecap bukan menghisap.  Aku hanya menyengat jika rumahku diganggu.  Karena itu sama saja dengan membunuhku.

Takdirku adalah takdir kata.  Menyusun kalimat sependek umpatan dan sepanjang jalan pulang.  Aku berteriak untuk mengingatkan.  Aku bertanya daripada meraba-raba.  Aku berdiam bila bilahku terlalu tajam.  Aku tak mau melukai.  Aku hanya ingin mencintai.

Sampit, 25 Maret 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun