Aku lupa bagaimana caranya jatuh cinta. Â Aku hanya ingat satu hal saja. Â Ketika aku menyelam di bola matamu, aku melihat diriku di situ. Â Menggenggam sepucuk senapan berburu. Â Dengan hanya tersisa satu peluru.
Aku tak tahu seperti apa jatuh cinta itu. Â Aku hanya tahu saat melihatmu menatapku dalam-dalam. Â Aku langsung menggapai-gapai tenggelam.
Aku buta terhadap yang namanya cinta. Â Aku hanya sedikit menyadarinya. Â Waktu aku mendengarmu membacakan sajak untukku, aku terbuai lama seperti bayi yang sedang ditidurkan ibunya.
Aku tuli terhadap bahasa cinta. Â Telingaku tak pernah belajar tentang itu. Â Aku hanya mendengar ketika kau berbisik pada angin. Â Meniupkan nama depanku di antara silirnya. Â Aku terdiam seperti arca. Â Lalu bergetar berpecahan. Â Seolah bumi sedang diguncang gempa.
Aku bodoh kalau bicara cinta. Â Sangat bodoh hingga tak mengerti waktu kau mengirimiku rumpun melati yang belum berbunga. Â Kau sempat bilang, sirami dengan hati maka kau akan paham wangi itu seperti apa. Â Aku tetaplah sedungu keledai yang mengaku kuda.
Aku berniat mengaku pintar tentang cinta. Â Aku melahap habis syair para pujangga dan cerita yang tersaji di panggung drama. Â Tapi aku tetap terbelakang. Â Manakala kau katakan aku elang yang tak sanggup terbang. Â Hanya bisa berpetualang dalam angan.
Jakarta, 19 Maret 2018