Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Drama

Tentang Kesunyian

9 Maret 2018   15:59 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:05 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pernah mengalaminya.  Awalnya hanya duduk di depan cermin saat pagi buta.  Memandangi sepasang mataku sedang mencari-cari.  Di sepasang mata di seberang sana.  Lompatan kecil keinginan atau percikan cahaya.  Tidak ada.  Itu hanya nampak seperti sepasang mata mesin yang bekerja sesuai jamnya.

Begitu aku berdiri.  Menyingkirkan kepenatan setelah berjam-jam mencari.  Aku menuju ke kolam di halaman rumah.  Aku berharap kemauanku beriak sama dengan gelombang mungil yang tercipta ketika ikan-ikan itu aku beri makan.  Tetap tak bergerak.  Semuanya setenang angin yang dipasung oleh kincir yang memutuskan bertapa.

Barangkali dengan bercakap-cakap aku bisa menemukan sedikit keramaian.  Maka aku menggila.  Semua benda di sekitarku menjadi lawan bicara. 

Kepada pohon mangga aku meminta dia bercerita bagaimana cara mematangkan buah tepat pada waktunya.  Kepada pagar kemuning aku suruh dia berkisah tentang wangi yang memberikan undangan datang rombongan kumbang.  Kepada tumpukan pasir di pinggir sungai aku menanyakan pendapat tentang nasibnya yang harus terus menerus minggir karena tubuh sungainya semakin menyempit.

Tetap saja.  Kegaduhan itu hanya sementara.  Setelahnya aku bahkan lupa pada semua pertanyaanku.  Termasuk juga untuk apa semua jawabannya bagiku.  Buntu.

------

Aku lalu mencoba berlari di lapangan terbuka.  Sekencang-kencangnya.  Mungkin kelelahan cukup manjur untuk membuang kesunyian.  Tak ada guna.  Aku malah harus mengembalikan nafas yang aku buang percuma dengan menghirup udara sedalam-dalamnya.  Paru-paruku hampir meledakkan ribuan kata-kata.  Tanpa makna.

Bisa jadi pergi ke pantai adalah obat bagi kejemuan yang terus saja memaku-maku hatiku.  Aku mendapati lautan sedang pasang.  Menghanyutkan banyak keinginan seseorang yang tidak punya tujuan.  Membawanya ke tengah lalu diserbu ikan pari yang sedang marah.  Terkena bisa dari ekornya.  Jadilah cita-citanya buyar seketika.

Sebaiknya aku menunggu malam.  Bintang-bintang kata orang bisa mengobati kesunyian.  Aku akan menghitung satu persatu.  Kunamai dengan sebutan sesukaku.  Bintang telanjang kalau dia serupa perenang.  Bintang pelupa jika dia tidak nampak seutuhnya.  Bintang sakit apabila cahayanya sedikit.

Sampai habis semua ujung langit aku tekan dengan telunjukku.  Menamai bintang-bintang itu ternyata malah menambahkan kadar kesunyian sampai ke titik tertinggi.  Ini mungkin karena membicarakan bintang sama dengan berharap untuk pulang.  Kepada cinta yang dikira telah hilang.  Kira-kira begitu.  Kesimpulan yang sekali lagi melahirkan jemu.

Jalan terakhir aku memutuskan untuk merangkai labirin di jendela.  Kalau aku bisa keluar dari kerumitannya, bisa saja kesunyian ini tak lagi menjadi berita yang terus mengiang di gendang telinga.  Berita tentang badai yang tidak menghancurkan apa-apa kecuali isi kepala.

Jakarta, 9 Maret 2018

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun