Aku cukup mengerti mengapa kau terus menggerutu pada kehadiran prasangka yang mengganggu. Â Kau sedang dibelit ragu bagamana caraku melunasi hutang terhadap waktu. Â Kau salah. Â Aku termasuk salah seorang yang bersikukuh tidak menyerah.
Lihat bagaimana cara matahari memperlakukan pagi yang memutuskan untuk bersikap sederhana. Â Memeluknya erat dalam kehangatan yang belum ada tandingannya. Â Seperti cuaca hari ini. Â Tahu benar bagaimana cara mencintai.
Sungguh keliru meratapi bunga-bunga yang tak hendak mekar sebab memang belum cukup air pada tangkainya. Â Begitulah sebenarnya cara keindahan memperlakukan mata.Â
Bersabarlah. Â Waktu yang bergulir tak bisa dipuntir hingga patah. Â Di antaranya ada upaya tak kenal lelah. Â Kau tahu hal itu akan layak mendapatkan hadiah.
Ingatlah seperti apa ketika aku mendulang wangi melalui ribuan puisi? Â Berburu rindu di belantara berpaku? Juga janji mendanaukan gunung tertinggi di pulau ini?
Apabila itu semua ternyata tak menjadikan keyakinanmu pulih. Â Ambillah segayung air yang kau ambil dari sungai yang mengalir. Â Taruh di atas tungku dari batu. Â Tunggulah hingga mendidih. Â Saat itulah kau berada pada titik untuk mengaku.
Jakarta, 21 Februari 2018