Aku menulis ini di tengah kekacauan mendung yang saling bertabrakan di atas kota yang benaknya diaduk oleh tanya. Â Hingga kapan ketidakpastian cuaca berhenti membuat ulah atasnya.Â
Dan ini bukan surat biasa. Â Aku tidak sedikitpun memegang pena. Â Bahkan aku tak menemukan sehelaipun kertas untukku menggaris percikan khayal yang paripurna.
Surat ini lebih mirip puisi yang dititipi pesan oleh hati. Â Dari cinta yang tumbuh dari sekumpulan bunga terhadap air yang menyiraminya. Â Dari kasih seorang pertapa terhadap batu yang bertahun didudukinya. Â Dari sayang sebatang kangkung terhadap lumpur yang sukarela mendekap kehidupannya.
Bacalah ini saat kau mempunyai waktu untuk mengingat kembali sejauh apa garis pandang padang pasir yang dibatasi rerumputan savana. Â Tempat para kawanan fauna berhijrah mencari air dan juga mangsa. Â Sebagian bermatian untuk takdir yang tidak diinginkan. Â Sebagian lagi hidup untuk meniti batas akhir dari manisnya arti kata kepahitan.
Setelah kau membacanya. Â Duduklah di teras samping ketika terminalia cattapa enggan menggugurkan daun sebab ingin melindungi sebidang tanah yang digenangi kesendirian. Â Nanti kau akan tahu betapa indahnya kenangan yang benar-benar diperjuangkan.
Jakarta, 13 Februari 2018