Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Staccato dari Orkestra Hati

16 Januari 2018   18:16 Diperbarui: 17 Januari 2018   02:41 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (alecegarra.com)

Letih menghujani seumpama gerimis yang enggan melarikan diri. Merajam atap rumah seolah hentakan staccato dari sebuah orkestra yang dipanggungkan oleh para penjaga hati. Jangan berhenti. Aku butuh nada-nada tinggi untuk mengingatkan tentang peduli.

Udara pagi memelintir gedung-gedung yang menjulang menantang langit.  Terpendam rasa sunyi yang mencekam di matanya yang terbuat dari kaca terang. Keseharian yang dirasakan semembosankan mengumpulkan pasir di seluruh pesisir untuk kemudian diaduk bersama air sungai yang diberi garam. Sedangkan kelimpahan asin air lautan sungguh-sungguh diabaikan.

Sore hari udara mendadak bertindak kejam. Menumpahkan hujan sebesar biji kacang. Membasahi segala lusuh yang menumpang di bibir-bibir merah polesan. Alunan orkestra berubah menyayat permukaan mata yang mau tak mau memutuskan untuk membuta. Untuk apa melihat kesana kemari jika melangkah saja harus terjungkal di sana sini.

Biarlah seperti ini. Mungkin sudah saatnya orkestra berhenti. Biarkan saja Legato mengambil alih Staccato. Seperti layaknya keberanian membumi hanguskan ketakutan.

Jakarta, 16 Januari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun