Kau tiba dengan terlambat. Â Tapi kau mampu membuat hidupku menjadi berkali lipat. Â Menyepuh diam menjadi bara yang enggan padam. Â Lalu menyiramkan matahari pada api yang memenuhi hati.
Aku mendatangimu dengan kekuatan air bah. Â Dari puncak gunung yang rontok oleh kenangan sekuat gelombang laut selatan. Â Kenangan yang tiba-tiba menyapu habis rindu yang membatu.
Kita memulakan sebuah kisah tentang lebah. Â Berkeliling mencari manis yang sesungguhnya. Â Gula ternyata tidak cukup bagi adukan kopi di pagi hari. Â Pahit masih tercekat pada lidah yang kesulitan berkata lupa. Â Sementara ludah yang terciprat mirip cuaca yang berkarat.
Setelah hidup ini kau buat serupa perkalian. Â Jangan sampai berhenti di sebuah titik yang penuh dengan pertanyaan. Â Apalagi jika kau padukan dengan kerusuhan drama yang banyak muncul di kepala.
Ingatlah kepada danau di pinggang Semeru. Â Ingatlah kepingan batu bata di Piazza del Roma. Â Ingatlah pada harapan yang bergelimpangan dari anak-anak lusuh di perempatan jalan. Â Ingatlah pada janji dan sumpah berikut serapah yang menyiangi rumput dan alang-alang di halaman rumah.
Rumah tempat kita berteduh saat menyelamatkan beberapa bait puisi yang kita tulis bersama.
Bogor, 14 Januari 2018