Netizen hari ini ramai memperbincangkan media Tirto.id yang dianggap memelintir pernyataan Maruf Amin terkait legalisir Zina. Maruf Amin dalam debat Cawapres semalam menyatakan bahwa dirinya akan memerangi hoax dan fitnah yang menyerang kubunya.Â
Menurut Maruf Amin dirinya akan memerangi hoax dan fitnah yang mengatakan bahwa jika dirinya terpilih maka Zinah akan dilegalisir. Namun pernyataan tersebut dikutip secara serampangan oleh media Tirto.id dan dikutip secara sepotong menjadi Zina akan dilegalisir. Sontak hal tersebut memancing polemik di tengah warganet, mereka pun beramai-ramai melakukan perundungan terhadap media Tirto.id yang dianggap menyajikan berita fitnah dan hoax (Sumber).
Tentu kita secara spontan bisa paham zinah yang dilegalisir itu merujuk soal legalisasi zina yang semapat ramai diperbincangkan, dan itu menjadi black campaign yang menyerang kubu petahana yang berkaitan dengan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ada beberapa oknum yang salah membaca butir RUU tersebut kemudian dijadikan alat propaganda politik untuk  menyerang kubu petahana terkait legalisasi zinah.
Jika kita menelisik dan membedah Undang-Undang, legalisasi zinah memang secara abu-abu dapat disalah artikan ketika dia dihadapkan dengan fatwa MUI terkait poligami.Â
Sesuai dengan Undang-undang Nomor l Tahun 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan menganut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami dalam sebuah pernikahan.Â
Celah poligamai hanya dimungkinkan ketika ada persetujuan dari kedua belah pihak dan pesyaratan yang harus dilengkapi. Tentu syarat tersebut tidaklah mudah, dan pengadilan harus hadir sebagai pihak yang menentukan apakah seseorang boleh beristri satu atau tidak. Negara secara ketat mengatur poligami tersebut, bahkan nyaris mustahil, apalagi jika dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara.
Sayangnya Undang-Undang yang secara ketat menutup kemungkinan poligami tersebut masih bisa diakali, dan mendapat dukungan dari Fatwa MUI yang memperbolehkan seseorang berpoligami, dengan dalil bahwa Islam memperbolehkan hal tersebut. Bahkan mekanisme pernikahannya pun dapat diupayakan secara Siri.Â
Pernikahan Siri adalah pernikahan yang sudah sah secara agama namun belum sah secara Undang-Undang sebab belum tercatat oleh negara, sehingga pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Pada poin soal poligami dan pernikahan siri tersebut, Fatwa MUI yang dijadikan landasan dapat berbenturan dengan hukum positif negara. Hal tersebutlah yang dapat membuka peluang tafsir abu-abu terhadap legalisasi zina, dari sudut pandang hukum positif negara dan fatwa MUI.Â
Zinah atau perzinahan dalam KUHAP didefinisikan sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.Â
Kawin dalam KUHAP tersebut jelas merujuk pada laki-laki dan perempuan yang telah mengikat janji setiap sehidup semati dan disahkan oleh pengadilan dalam tali pernikahan. Namun bagaimana dengan status pernikahan sirih yang tidak disahkan oleh pengadilan? Apa mereka bisa tetap disebut oleh Undang-Undang?Â