Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mendobrak Jebakan Pertumbuhan Ekonomi 5%

8 April 2019   19:47 Diperbarui: 8 April 2019   19:51 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: ekonomi.com.com

Dalam Kampanye Akbar Pasangan Calon 02, salah satu kritik yang dilontarkan Prabowo ialah mengenai pertumbuhan ekonomi. Dalam kritiknya, Prabowo mengeluarkan umpatan 'ndasmu' atau yang dalam bahasa Indonesia berarti 'kepalamu' untuk pertumbuhan ekonomi 5%. Meski disampaikan dengan nada bercanda untuk mencairkan suasana, akan tetapi pernyataan ini layak untuk ditelaah lebih lanjut.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menimpali jika presiden Jokowi dan kabinetnya tak bekerja maka pertumbuhan ekonomi akan tetap mencapai lima persen. Peryataan ini mempertanyakan kinerja petahana yang terlihat aktif, namun tidak memberikan hasil. Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno juga menggarisbawahi pertumbuhan ekonomi yang sejak pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak sesuai dengan janji. Dirinya mengingatkan pada masa kampanye 2014, petahana optimis dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sampai 8%, jadi jauh panggang dari api.

Pengamat Ekonomi, Sunarsip menilai, pertumbuhan ekonomi 5% sebenarnya cukup baik, tetapi memang tidak cukup untuk mengatasi beragam persoalan saat ini dan tantangan kedepannya (good but not sufficient). Persoalan dan tantangan tersebut, terutama berasal dari pertumbuhan angkatan kerja (terutama angkatan kerja usia muda) yang cepat.

Perlu untuk diketahui, saat ini setiap satu persen pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mampu menyerap sekitar 200-300 ribu tenaga kerja baru. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan 10-15 tahun lalu, yakni setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja sekitar 500 ribu orang. Melemahnya penyerapan tenaga kerja tersebut, terutama disebabkan oleh karakteristik sektor ekonomi yang membentuk ekonomi kita.

Selama ini, sektor ekonomi yang memiliki daya penyerapan tenaga kerja yang besar adalah pertanian dan industri manufaktur. Sayangnya, kedua sektor ini pertumbuhannya praktis tidak lebih baik dibanding pertumbuhan ekonomi secara nasional. Di sisi lain, sektor ekonomi yang memiliki pertumbuhan tinggi, umumnya merupakan sektor yang padat modal sehingga daya serapnya terhadap tenaga kerja juga terbatas.

Pemerintah saat ini seakan silau, pertumbuhan ekonomi 5% memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan kondisi saat ini, berdasarkan studi McKinsey (2012) diperkirakan pada 2020 akan terdapat sekitar 85 juta penduduk kelas menengah (konsumen) atau meningkat sebanyak 40 juta dibandingkan posisi pada 2010. Kemudian, bila Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya sebesar 5-6 persen hingga 2030, pada 2030 akan terdapat sekitar 135 juta penduduk kelas menengah.

Namun, yang patut dicatat adalah bila ekonomi kita hanya mampu tumbuh lima persen per tahun, piramida penduduk kita tidak mengalami perubahan berarti hingga 2030. Jumlah penduduk yang berada di bawah kelas menengah masih jauh lebih besar dibandingkan penduduk yang telah berada di kelas menengah. Piramida penduduk baru akan berubah bila Pemerintah mampu merangsang pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen hingga 2030.

Dengan melihat dinamika realisasi pertumbuhan ekonomi dengan target pemerintah tersebut, tidak mengherankan bila kini muncul istilah 'jebakan lima persen'. Karena kondisi inilah sejumlah pihak merasa perlu ada langkah besar (big push) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi keluar dari jebakan lima persen tersebut.

Berdasarkan fakta inilah, reformasi struktural menjadi suatu keniscayaan. Akan tetapi, cukup disayangkan, dengan tuntutan langkah besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ekonomi yang dijanjikan oleh calon presiden nomor urut 02 Joko Widodo atau Jokowi cenderung bermain aman. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan kebijakan yang ditawarkan Jokowi sebagai calon inkumben hanya melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.

Salah satu contohnya adalah, imbuh Bhima, program kartu prakerja yang dicanangkan Jokowi. Program itu hanya modifikasi dari kartu yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan petahana cenderung bermain aman, alias Jokowi tidak akan lakukan hal yang baru.

The Economist Intelligence Unit, salah satu unit dari majalah The Economist juga menilai jika Jokowi akan memastikan kelanjutan reformasi iklim usaha pada lima tahun kedua pemerintahannya, meski diperkirakan tidak berubah drastis. Sebaliknya, jika Prabowo Subianto menang dalam pemilihan ini, diperkirakan bakal memberikan tantangan bagi para pebisnis asing yang bakal menanamkan investasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun