Mohon tunggu...
Mikyal Suyuthi
Mikyal Suyuthi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menjadi guru yang hobi menulis adalah sebuah ketertarikan tersendiri sejak duduk dibangku sekolah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep Paradoks Zeno Menuju Takterhingga

29 November 2022   00:58 Diperbarui: 29 November 2022   01:14 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PARADOKS ZENO: ACHILLES DAN KURA KURA  

Situasi dan Kondisi pembelajaran  saat ini tentu membutuhkan effort yang lebih, bagaimana tidak, saat ini kita dihadapkan pada situasi  dimana peralihan peserta didik dari pembelajaran berbasis platform digital kini beralih ke tatap muka. Kecenderungan sifat individual, serta senyapnya komunikasi peserta didik karena tidak  berada dalam situasi nyata. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mengubah kebiasaan  peserta didik yang tergantung pada gadget dan beralih pada pembelajaran normal seperti sebelum pandemi. Berdasarkan latar deskripsi yang demikian itu, maka  saya sebagai guru berupaya menghadirkan pembelajaran matematika yang inovatif dan bermakna. Bukan hanya sekedar menyenangkan tanpa makna, namun pembelajaran yang betul-betul mampu meningkatkan literasi matematika peserta didik. Kondisi peserta didik yang kurang termotivasi dalam belajar, lemahnya hasil belajar siswa, kurangnya literasi matematika yang berakibat pada lemahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang melibatkan soal matematika yang rutin sekalipun. Kondisi ini semakin diperparah dengan mindset peserta didik yang merasa tidak perlu belajar matematika seperti yang mereka pelajari di sekolah saat ini. 

Dengan latar belakang demikian, maka dirasa penting  untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Perkembangan teknologi  yang pesat  menuntut kita, para guru untuk dapat meningkatkan  kemampuan adaptasi yang baik. Matematika, merupakan salah satu ilmu yang berperan untuk menghadapi perkembangan zaman saat ini. Bagaimana keterampilan berpikir matematis, salah satunya kemampuan literasi matematis, adalah keterampilan yang  sangat dibutuhkan untuk menghadapi era globalisasi. Peran dan tanggung jawab saya sebagai seorang guru, tentunya adalah menyiapkan peserta didik untuk siap dalam menghadapi zamannya. Bagaimana membekali peserta didik dengan keterampilan berpikir matematis yang baik dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan teknologi. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu dengan memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematisnya dalam proses pembelajaran. Bagaimana peran saya sebagai guru untuk mendesain pembelajaran  yang tepat, sehingga peserta didik menjadi tertarik,  dan yang paling penting tujuan pembelajaran dapat tercapai secara  efektif. 

Beberapa solusi konkret yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan di atas, yaitu:

  • Guru menggunaan model pembelajaran dengan konteks permasalahan nyata/sehari-hari. Peserta didik perlu untuk mengalami proses pemecahan masalah dalam berbagai situasi dan konteks yang berbeda agar dapat menggunakan keterampilannya secara efektif.
  • Guru menggunakan pendekatan/ strategi yang berfokus untuk meningkatkan pemahaman atas isi bacaan matematis dan membiasakan diri memahami soal cerita matematis serta pola pemahamannya.
  • Guru perlu mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan eksplorasi dan refleksi ide-ide pemikiran matematis peserta didik.
  • Guru perlu memberikan motivasi untuk membantu memberikan kesadaran bahwa matematika hadir dalam kehidupan sehari-hari di sekitar, mudah dipahami, menyenangkan, menarik, serta memberikan kesempatan untuk merefleksikan dunianya secara matematis. Melalui langkah-langkah konkret dalam permasalahan di atas maka pembelajaran yang berbasis masalah adalah sebuat pilihan metode yang tepat.

Tetapi berkenaan dengan pemecahan masalah, maka diperlukan strategi khusus untuk melatih keterampilan pemahaman akan pemecahan masalah yang melibatkan matematika. Seperti yang dilansir dari https://bermatematikadotnet.files. sebuah tulisan Prof Hendra  Gunawan  (Guru Besar FMIPA ITB) yang terinspirasi  dari kisah AChiles dan kurakura, pada suatu waktu, Achilles (petarung fiktif Yunani Kuno) berlomba lari dengan seekor kura-kura. Karena kura-kura jauuuuh lebih lambat dari Achilles, ia memulai berlari 1 km di depan Achilles dan menggunakan sepatu roda (yang dirancang khusus untuknya, katakanlah begitu), dan Achilles berlari santai dengan kecepatan 2 kali kecepatan sang kura kura. Siapa yang akan menang dalam lomba lari ini? Achilles kah? Hmmm..., belum tentu, secara logika, pastilah Achiles yang menang. Menurut Zeno (450 SM), yang membuat cerita di atas, Achilles takkan pernah bisa menyalip sang kura-kura. Karena itu, kura-kura lah yang menang. Loh, kok bisa? kan tidak logis yah?...

Argumen Zeno seperti berikut ini: ketika Achilles telah berlari sejauh 1 km, ia sampai di posisi awal sang kura-kura. Pada saat itu, sang kura-kura telah berlari sejauh ½ km, dan karena itu sang kura-kura berada ½ km di depan Achilles. Kemudian, ketika Achilles telah berlari sejauh 1 + ½ km, sang kurakura berada ¼ km di depannya. Berikutnya, pada saat Achilles menempuh 1 + ½ + ¼ km, sang kura-kura berada 1/8 km di depannya. Demikian seterusnya, ketika Achilles telah berlari sejauh 1 + ½ + ¼ + ... + 1/2n km, sang kura kura berada 1/2n+1 km di depannya. Karena itu, menurut Zeno, Achilles takkan pernah berhasil menyusul sang kurakura. Kisah di atas dikenal sebagai paradoks Zeno.

Apa yang hendak disampaikan oleh Zeno melalui paradoks ini adalah bahwa ia menolak konsep ketakterhinggaan. Bagi Zeno, deret 1 + ½ + ¼ + ... + 1/2n takkan pernah sama dengan 2, karena berapa pun n jumlah deret ini akan lebih kecil daripada 2. Pada masa itu, tahun 450 SM, konsep limit belum dikenal, demikian pula dengan deret tak terhingga. Bagi kita yang mengenal konsep limit, jumlah deret di atas 'pada akhirnya' sama dengan 2. Dengan kecepatan 2 kali kecepatan sang kura-kura, Achilles akan mulai menyalip sang kura-kura ketika ia telah berlari sejauh 2 km, dan ini akan terjadi dalam waktu yang terhingga (yakni 2/v jam, dengan v menyatakan kecepatan lari Achilles, dalam km/jam). Zeno tahu bahwa Achilles seharusnya menyalip sang kurakura ketika ia telah menempuh jarak 2 km, tetapi ia tidak melihat bagaimana 1 + ½ + ¼ + 1/8 + ... bisa sama dengan 2, karena konsep ketakterhinggaan  tidak ada dalam pikiran Achiles, dia tidak pernah menduga bahwa dia bisa dikalahkan kurakura karena ketakterhinggaan tidak ada dalam kamusnya. Sebagaimana kita ketahui, konsep limit baru ditemukan dua ribu tahun kemudian!. 

Tantangan dalam setiap melakukan sesuatu pasti akan ada,  hal tersebut tentu ada dalam proses pembelajaran ini, bagaimana membelajarkan peserta didik tentang konsep limit menuju tak terhingga, dengan latar kisah sebuah paradoks, yakni sebuah situasi  yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan menuju ke sebuah kontradiksi.  Sederhananya paradoks adalah situasi pernyataan benar dan salah pada saat bersamaan.

Berdasarkan kajian literatur dan wawancara dengan  peserta didik, serta rekan guru lainnya terhadap penyebab permasalahan dan  tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, yaitu rendahnya  kemampuan literasi matematika dan disposisi matematika peserta didik sebagaimana definisi NCTM (1989. c) menyatakan bahwa disposisi matematis adalah apresiasi siswa terhadap matematika. Apresiasi tersebut berupa kecenderungan untuk berfikir dan bertindak secara positif terhadap matematika. 

  • Proses pembelajaran matematika yang kurang bermakna dan lebih sering menggunakan pembelajaran konvensional.
  • Bahan ajar dan instrumen yang disiapkan belum dapat membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan literasi matematis.
  • Kemampuan guru beradaptasi dengan berbagai strategi dan model pembelajaran yang masih sangat kurang.

Berdasarkan penyebab dari permasalahan di atas, tantangan yang saya hadapi untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:

  • Guru jarang mengimplementasikan model inovatif dalam proses pembelajaran, hal ini dikarenakan proses persiapan yang membutuhkan waktu cukup lama.
  • Peserta didik tidak terbiasa menerima pembelajaran dengan model inovatif. Sehingga dalam pelaksanaannya, masih ada  peserta didik yang kebingungan dengan tahapan proses pembelajarannya.
  • Bahan ajar dan instrumen yang disiapkan belum dapat melatihkan keterampilan berpikir matematis peserta didik.
  • Peserta didik kurang terbiasa bertindak cepat dan efisien sehingga, kemampuan menjalankan instruksi jadi terasa lebih rumit.
  • Peserta didik cenderung kurang berkolaborasi. Sehingga berakibat pada hasil kerja siswa yang kurang optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun