Mohon tunggu...
Pendidikan

Pendidikan Multidemensional dalam Masyarakat Multikultural

8 Desember 2018   00:30 Diperbarui: 8 Desember 2018   00:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan merupakan salah satu elemen yang sangat penting di dunia saat ini. Penggambaran kemajuan Negara pun sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkatan pendidikan yang ada. Artinya hari ini pendidikan merupakan salah satu indikasi dari keberlangsungan sebuah bangsa. Banyak metode dan banyak praktek yang dilakukan dalam dunia pendidikan di berbagai Negara. Tentu hal-hal yang mengenai penerapan masalah didik mendidik akan disesuaikan dengan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik yang ada di Negara tersebut. Lalu hal tersebut mengundang pertanyaan, metode pendidikan yang seperti apa yang cocok dilakukan di Indonesia?

Perlu kita sadari bahwa Indonesia merupakan Negara multicultural yang terdidri dari berbagai suku bangsa. Penerapan-penerapan yang berhubungan dunia pendidikan tentu akan berbenturan dengan sosial budaya yang berbeda di setiap wilayah. Namun perbedaan tersebut bukan berarti akan memberikan output pendidikan yang timpang satu sama lain. Hal tersebut menjadi kejian yang menarik dari kacamata antropolog. Kecenderungan  pendidikan di Indonesia saat ini sangat menekankan dalam hal kognitif belaka, yang artinya siswa dididik untuk memecahkan soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti baca, tulis, dan berhitung. Hal tersebut dikemas dalam kurikulum yang menjadi kitab suci pendidikan di Negara kita. Namun kurikulum yang ada justru menyimpan beberapa praktek untuk kepentingan kalangan tertentu.

Edukasi yang berorientasi pada profit jelas tidak mempedulikan keberadaan sejarah, kecuali sejarah ekonomi itu sendiri. Sebab, seluruh cara berpikir yang kritis dasarnya ada pada kemauan untuk belajar dan memahami sejarah. Sehingga jika sejarah secara perlahan hilang, muncul resiko besar untuk membentuk cara piker masyarakat yang kian tidak lagi memperhatikan keberagaman ras, suku, agama, dan gender. Ini artinya, peluang untuk membentuk karakter yang demokratis dan memahami kaum minoritas, menjadi terhambat. Di sisi lain, muncul juga kemungkinan lain yang membentuk struktur masyarakat penuh dengan yes-peoplesebagai penggambaran untuk orang yang manut-manutsaja dengan kondisi sekitar dan kebijakan publik. Baik kebijakan publik yang diterapkan itu salah atau benar, masyarakat akan semakin tidak peduli, dan hal itu dapat dilihat sampai hari ini. Di beberapa tempat misalnya, para pengajar juga sudah tidak memedulikan pelajaran sejarah dan budaya, ketimbang melihat tentang perkembangan teknologi saat ini. Hal ini yang seolah-olah menggambarkan edukasi hanya berfokus pada satu hal: perkembangan suatu profit, sesuatu yang tampak.

Cara pandang ini perlu dikaji lebih dalam oleh beberapa institusi sebab akan semakin berbahaya jika dibiarkan begitu saja alih-alih seperti tanpa resiko yang besar jika tidak didiskusikan. Fenomena ini menarik sebab, equityatau kesetaraan menjadi semakin tampak batasnya. Inilah yang ditekankan, bahwa siswa tidak hanya cukup membaca dan menulis setiap fenomena yang sedang dipelajari, melainkan perlu merefleksikan tentang seluruh fenomena itu berdasarkan pada pemahaman masing-masing. Jadi, pedagogi kesetaraan di dalam tulisan ini ingin menegaskan bahwa, pengetahuan tentang keberagaman saja tidaklah cukup, melainkan perlunya praktek nyata di lapangan yang kemudian juga dapat membentuk sikap kritis siswa sebagai warga negara yang demokratis. Selanjutnya, hal ini dapat dilakukan jika setiap pengajar sadar akan kekurangannya dan sadar juga akan kondisi sekolah dan kurikulum. Para pengajar perlu memahami dan mempraktekkan the hidden curriculumyang artinya adalah suatu praktek belajar-mengajar yang tidak hanya dilakukan di kelas saja. Siswa perlu belajar melalui beberapa tempat, selain di ruang kelas, seperti di kantin, di perpustakaan, di taman dan apapun yang berhubungan dengan budaya sekolah itu sendiri. Hal ini berguna untuk memunculkan sikap aktif dan peduli dengan struktur yang selama ini berlangsung di tempat tersebut.

Fenomena yang menarik adalah pedagogi pendidkan yang diterapkan oleh lembaga mangunan. Lembaga pendidikan mangunan didirikan oleh Romo Mangun. Romo Mangun adalah seorang rohaniwan katolik dan seorang budayawan. Beliau sangat prihatin dengan konsep pendidikan Indoesia yang sangat menerapkan cara pemikiran yang linier. Pemikiran yang dimaksud dengan liner artinya mendidik siswa hanya untuk mengerti dan melakukan apa yang diperintahkan oleh seorang guru. Guru pun hanya mematuhi oleh kurikulum yang sudah tersedia. Hal tersebut tidak memberikan proses diskusi dan refleksi dari siswa didik dan para pengajar. Konsep pemikiran secara linier diadopsi dari konsep Pasca Nasional yang menciptakan sosok manusia yang terbuka kepada nila-nilai kemanusiaan secara universal, meskipun tetap berpegang kepada nilai ke-Indonesiaan. Nah kontruksi pedagogi Mangunan dibangun dari kontruksi pemikiran pasca Einstein yang berdinamika relativitas dengan tidak main mutlak-mutlakan, karena segala sesuatu bersifat relative. Generasi muda harus meluas horizonnya dengan berpikir kreatif, eksploratif, inklusif, dan pluralistik. Hal tersebut diyakini oleh Romo Mangun Wijaya bahwa kehidupan adalah sesuatu yang multidimensional artinya anak muda harus berani mencoba untuk menciptakan hal-hal baru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun