Mohon tunggu...
Miqdad Nashr
Miqdad Nashr Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa kpi 18 umy

Cari tahu tentang saya di http://suka-suka.web.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Sudut di Anadolu

19 Desember 2017   09:47 Diperbarui: 19 Desember 2017   09:56 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.gezilecekyerler.biz

Sebuah cerpen yang menyentuh hati karya Faaza Naima

Di sudut-sudut ruang yang selalu ku kenali, terpasang ratusan tangan yang bekerja di atas tumpukan kertas. Tersusun jiwa-jiwa penuh petualang yang siap mengemban amanah. Bukan hanya aral melintang, bahkan onak duri yang tak kasat mata selalu menghadang. Tak goyah oleh rembulan yang menidurkan pandang, hanya ada aku, dan mereka yang merindukan perubahan terjaga di setiap malam. Hanya aku, dan mereka. Milyaran ilmu berjalan yang terjaga di bawah naungan Kota Ankara.

Yang berlalu lalang di lorong waktu tanpa pernah memahami, bahwa bahasan kini bukan lagi suatu omong kosong. Demokrasi telah ditegakkan sejak beberapa tahun silam. Aku sempat menghitung tahun, tapi aku terlalu tua untuk menghitungnya dengan jariku yang nyaris tak pernah kugunakan sejak militan ditegakkan. Hingga, datangnya sang revolusioner dakwah menyejukkan pandang dan mengganti haluan. Dan aku menyadari, sembilan puluh tujuh tahun aku telah mengabdi. 

Pada apa yang selalu menjadi news dan paling dicari. Oleh pandang orang awam, politisi, pejabat, bahkan mata dunia. Aku menerima kondisi sesuai kodrat Ilahi. Aku tiada pernah terlelap bersama dinginnya malam. Yang kutahu, aku hanya harus terus berbagi di tengah gelapnya kota. Dan aku pernah merasakan bagaimana jantung kota berdetak dengan kencang di pagi buta.

 Pernah pula kedamaian menelisik di setiap mega-mega mencuat menyemburatkan rahmat-Nya di atas kemegahan suara azan magrib yang berkumandang. Di setiap sudut yang bergejolak, hampir semua kumengerti kisahnya, dalam lembaran ketikan yang tercetak ribuan eksemplar setiap harinya, aku kembali belajar.

 Walau hampir seabad, entitasku mungkin tak pernah tersebut. Bersemayam di bawah pijakan-pijakan mega pancarona para akademisi, yang mengetik di atas tuts yang berdetik. Dan aku mengisahkan semua ini, dalam angin lalu hembusan para dermawan yang melegakan integritas.

Kuceritakan padamu apa yang pernah kulihat dalam diamku kawan. Wahai para perindu syahid yang haus akan negeri madani di bawah naungan malaikat-malaikat Allah SWt. yang satu-persatu telah meninggalkan kita saat beranjak dewasa.

Empat tahun setelah entitasku mulai terbentuk, pada tanggal 3 Maret, aku ingat betul bagaimana sesuatu telah berubah menjadi begitu mengerikan. Dalam pandangku, pandangnya, pandang kalian semua. Tiada lagi kekhalifahan kawan, syariah Islam diruntuhkan oleh teori ideologi hukum Italia, Jerman, dan Swiss. Tempat-tempat bersujud ditutup, madrasah dirantai oleh kebijakan, dan aku tiada lagi mengerti, mengapa transkrip-transrip naskah berbahasa Arab berubah menjadi asing dan membuatku kembali belajar, Bertahun-tahun setelahnya, aku mulai mengerti, bahwa itu adalah bahasa Roma. 

Semua begitu cepat berganti. Kalender-kalender yang tergantung, alphabet, semuanya menjadi berhuruf Latin. Aku tumbuh dengan perubahan yang begitu drastis dan berusaha bertahan ditengah carut-marut kerasnya kehidupan kota. Kuangkat tubuhku perlahan, memandang alam yang tidak lagi hijau oleh sejuknya tilawatil Qur'an. 

Tumbuhan meranggas oleh gersangnya qalbu para cendekiawan. Gedung-gedung pendidikan lesu dari pelajar yang rupawan akan ilmu yang haq. Antrean terjadi dimana-mana sejauh mata memandang. Kekerasan oleh rezim yang berbentuk penindasan kepada masyarakat tiada lagi terhindarkan. Dan aku terdiam di sini, memahami bahwa usiaku belum lagi genap lima belas tahun untuk menerjang.

Kembali terpaku pada apa yang kuresahkan. Tiada hari kulalui tanpa jeritan pilu para perempuan dan anak-anak di bawah penindasan. Di saat itulah aku terus memanjatkan do'a, tanpa seorang yang berlalu lalang peduli padaku. Mereka acuh dengan tugas dan pena mereka. Delapan belas tahun, semua orang menyebut namanya, di atas kertas maupun lisan. Attaturk namanya. Entah setelah itu apa yang terjadi, setelah itu terjadi kehebohan besar yang tak kumengerti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun