Mohon tunggu...
Miftakhul Shodikin
Miftakhul Shodikin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kenapa kamu hidup ?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Itu Kelestarian?

23 Juni 2021   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2021   03:44 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : litera.co.id

Ketika itu senja menerpa seorang bocah dipesisir pantai uatara pulau jawa. Nelayan-nelayan kembalimenepi selepas mencari ikan. Tangkapan sore ini lumayan seru beberapa nelayan diujung cakrawala sana. tidakkah semua nikmat tangkapan besar ini kita kembalikan kepada kita kepad Tuhan semua alam. benar sekali tetapi adakah yang lebih penting ketimbang syukur itu sendiri. Bocah kecil itu yang tak tahu menahu tentang rasa bersyukur dengan tiba-tiba terpental pikirannya ketika mendengar kata Tuhan. 

Suatu kekuatan mistis nan ghaib yang diagungkan oleh setiap manusia. Mereka menyembahnya dengan ritual-ritual yang skaral. Bocah kecil ini juga pernah suatu waktu menceritakan kepada senja tentang sesaji yang ditinggalkan para nelayan untuk dibiarkan diterkam oleh ombak. Bocah ini tak begitu mengerti mengapa ombak dan laut harus memakan ayam panggang dan buah-buahan juga disana. Ada juga nasi tumpeng dan lain-lain atributnya. Mengapa harus demikian. 

Dikepala sang bocah polos ini mempertanyakan semuanya dengan gamblang tanpa pengaruh dari nilai-nilai yang ada. Tentu senja yang mendengar cerita itu tersenyum lebar sehingga memancarkan rona cahayanya yang mensyahdukan. Senja mengatakan kepada bocah itu bahwa itulah syukur. Yah, itulah rasa hormat manusia kepada Tuhan. Belum pula Senja menjelaskannya dengan tuntas Sang Bocah menyanggah dengan cepat secepat pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari dalam kepalanya.  Yah Senja, setidaknya aku mengerti apa itu syukur dari Pak.Burhann di tempat ibadah itu. 

Syukur tak ubahnya adalah suatu rasa terimakasih kita kepad-Nya, bukankah begitu senja. Tetapi kenapa harus dengan sesaji bukankah bentuk syukur bisa selain itu. Dan apakah baik pula membuang makanan sedemikian itu. Duh senja... begitu banyak pertanyaan yang terlontar dariku bocah polos ini. tolong maklmu senja. Dan juga pula kenapa kepada laut kita persembahkan sesaji itu. Kenapa tidak kepada Tuhan langsung kita mengungkapkannya. Apakah manusia itu ingkar kepada Tuhan?

Senja tertawa sejadi-jadinya. Tawa yang menggembirakan dan bukan tawa berupa ancamaan. Senja menyadari bahawa setiap kali manusia bertanya disitu ada sebuah harga untuk jawaban. Yah, ketika manusia tak tahu maka tanggugjawab terbesar ada pada penjawabnya. Senja mengatakan dengan perlahan bahwa bukan berarti memberikann sesaji itu bentuk ketidaksyukuran itu sendiri. Yah, secara cermat kita mata kita mengatakan hal itu menjadikannya mubazir, tentu begitu bukan? Tetapi manusia tidak bermain dengan hal semacam itu. 

Manusia selama sejarah peradabannya mmengambil nilai-nilai yang terkndung. Bahwa nilai dari sesaji adalah rasa syukur kita dan bukan bentuk penghianat syukur itu sendiri. Mengerti kau nak? Tentu kau harus banyak belajar agar dapat memahami mereka. Dan kenapa manusia itu tidak memberikannya langsung kepada Tuha. 

Tentu saja manusia memberikannya langsung kepada Tuhan. Lagi-lagi kita tertipu oleh telanjangnya mata nak. Manusia itu bukan berarti memberikan sesaji kepada laut atau samudra bukan pula menyembah butiran-butiran air yang membentuk samudra. 

Ku tanyakan kepadamu dan siapa  yang menciptakan laut. Bocah polos ini kemudian menjawab bahwa yang menciptakan adalah Tuhan. Yah tepat sekali kata senja dan lalu manusia itu yah, nelayan-nelayan itu yang juga salah satunya adalah bapakmu. Mereka semua mendapatkan uang dari mana, mereka semua bekerja di mana. Sebelum kau jawab nak, perlu kau ingat bahwa seluruh semesta ini ada didalam dirimu.

Bocah ini yang sembari tadi duduk teremenguu menghadap senja, ditemani camar-camar laut dan deruh ombak pesisir pantai menjawab pertanyaan senjan dengan tangkas bahwa nelayan mendapatkan rezeki dari laut.

Sekarang kau mengerti apa maksutku nak. Yah benar bahwa laut sebagaimana kita manusia adalah makhluk Tuhan. Dan kepada Tuhan kita mendapatkan rezeki. Kamu pasti tahu tentang cerita kuno bahwa tabib bukan Tuhan, bukan Dewa penyembuuhan tetapi tabib hanyalah manusia juga makhluk Tuhan seperti kita yanng diberikan kemampuan untuk menyembuhkan. Tabib adalah perantara nak dan juga dengan laut dan samudra  adalah perantara Tuhan untuk nelayan menangkap ikan, untuk mengais rezeki dari-Nya. Tentu demikian.

Ah, senja... bocah ini berwelas kasih. Tentu itu sekarang aku mengerti dan terimakasih atas penjelasanmu tetapi barusan kau mengacungkanku dengan sebuah pernyataan bahwa aku adalah seluruh alam semesta. Apakah juga kau adalah diriku dan diriku adalah juga senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun