Mohon tunggu...
Miftakhul Shodikin
Miftakhul Shodikin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kenapa kamu hidup ?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejauh Mana Makna Ibadah (?)

23 Februari 2021   22:05 Diperbarui: 23 Februari 2021   22:20 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kompasiana.com/edysupriatna

Bagaikan sore-sore yang damai. Matahari bersinar terang di barat menyisihkan secerca cahaya yang hangat untuk para pemain bola di lapangan atau menyilaukan gelombang laut di pesisir pantai. Seperti sore-sore yang lainnya hari ini aku bersepeda melewati jalan-jalan penuh kendaraan menuju ke barat tepat matahari sedang terik-teriknya. 

Dengan kayuhan sepeda sederhanaku menyapa sekumpulan orang di trotoar yang sedang asyik berbincang. Melewati pasar yang ramai oleh pedangan asongan, buah-buah segar pun masih ada di kala sore hari ini. Kayuhan sepedaku semakin kencang. Aku melewati masjid dan tempat ibadah lainnya yang ternyata sepi dan suram.

Tak berhenti di sana aku menuju tempat paling favorit. Pantai. Mendengar deruhan ombak dan suara camar laut membuat telingaku terasa nyaman bahkan ketika gunda sedang melanda pikiran-pikiranku. Aku duduk di tepi dermaga melihat matahari di ujung barat yang mulai terbenam juga para nelayan yang mulai kembali dari tengah laut untuk mengangkat jaring. Beraneka ikan pun tertangkap dan kemudian di pinggir pantai sudah banyak pengepul yang menunggu hasil tangkapan. Sebuah proses ekonomi sederhana. Namun aku menikmatinya. 

Sore itu sepeertinya hari yang benar-benar indah. Para nelayan mendapatkan begitu banyak ikan yang memenuhi perahunya setelah beberapa pekan kemarin para nelayan mengeluh dengan hilangnya ikan-ikan mereka, mungkin karena kian banyak kapal-kapal tongkang pembawa batu bara itu yang singgah. Lepas dari itu tangkapam sore ini begitu banyak dan mungkin bapak nelayan itu sangat senang karena pulang nanti dapat membelikan sepatu roda yang sudah lama diinginkan anaknya. Semoga.

Memikirkan nasib nelayan yang kian hari semakin susah aku juga mulai berpikir mengenai kebiasaan masyarakat modern dewasa ini. Sepanjang jalan tadi pemuda dan begitu banyak orang disibukan pergi ke pasar untuk berbelanja dan juga kelompok-kelompok orang yang duduk manis di trotoar membicarakan sesuatu yang tak benar-benar penting, mungkin. Namun jauh berbeda dengan tempat-tempat ibadah yang sepi bahkan suram. yah, mungkin ramai ketika ada perayaan-perayaan ke agamaan seperti Maulidan, Natal atau peringatan Haul seoarang Kiai. 

Tetapi ketika perayaan-perayaan itu tiba, yang menyambutnya bukan hanya para jamaah atau santri yang ingin pergi ke pengajian dan ziarah namun juga ada banyak pedagang dan penjual berbagai macam jenis barang di pinggir-pinggir jalan. Malah ada beberapa kasus mungkin yang datang ke acara yang lebih banyak bukan dari golongan peziarah atau jamaah justru para pedagang yang ingin mengais rezekinya. 

Barang tentu juga niat dari banyak peziarah dan jamaah datang bukan untuk acara keagamaan tetapi justru untuk membeli barang yang tersedia di sana. Aku pun tak tahu dengan pasti, tetapi aku kurang yakin dengan niat yang murni. 

Begitu pun ketika natal tiba para pemilik toko memasang diskon besar-besaran. Yang terjadi adalah ketika peayaan Natal tiba begitu banyak orang yang bergegas untuk berbelanja daripada pergi ke Gereja untuk meminta pengampunan. Mungkin berbelanja adalah salah satu metode baru dalam upaya pengampunan dosa oleh masyarakat modern.

Suara-suara camar semakin sepi. Hari memang mulai gelap. Matahari juga sudah mulai terbenam. Para nelayan yang tadi di tengah laut tadi kini sudah bertransaksi dengan para pengepul dan siap bergegas untuk pulang. Aku pun juga demikian. Aku ambil sepedaku dan ku kayuh lagi menuju rumah. 

Suara adzan maghrib menggema ketika aku kayuh sepedaku di sepanjang jalan yang sama ketika berangkat tadi. Aku temui pasar-pasar dan trotoar sudah mulai sepi dan melihat masjid di sana mulai dipenuhi manusia. Ah, ternyata tempat-tempat ibadah tidak benar-benar mati. Masih banyak orang-orang yang peduli dengannya. Sebagai muslim aku pun juga bergegas menuju masjid untuk sholat berjamaah.

Selepas semua ritual yang aku lakukan sudah selesai, aku mengambil kembali sepedaku dan ingin lekas aku kayuh menuju rumah namun nampak di gerbang masjid ada sesuatu hal yang menarik perhatianku. Seorang wanita lanjut yang kira-kira berusia 70 atau 80'an tahun sedang duduk bersandar di dinding gerbang ssambil menengadahkan tangannya kepada para jamaah yang keluar dari masjid. Wajahnya pucat, bibirnya kering dan sangat ringkih mungkin ia sangaat kelelahan sehingga tubuhnya sampai-sampai disenderkan ke dinding gerbang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun