Mohon tunggu...
Miftakhul Shodikin
Miftakhul Shodikin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kenapa kamu hidup ?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Salah Hujan?

23 Februari 2021   02:15 Diperbarui: 23 Februari 2021   02:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara hujan terdengar di luar jendela. Malam pun tiba membawa juga teman-temannya. Dari sepi juga sunyi. Suara guntur terdengar dikala aku ingin menutup jendela. Aku sangat ketakutan lalu berlindung dan membiarkan tubuhku terbenam oleh selimut, namun seper sekian detik berlalu lantas aku memberanikan diri untuk menutup jendela. Jika tidak air akan membasahi seisi kamarku. Ketika ada sesuatu hal yang lebih penting rasa takut kelak akan tunduk juga. Ah apakah harus demikian. Memberikan apresiasi nilai kepada sesuatu sehingga menganggapnya penting dan ketika itu sudah diberikan maka rasa takut pun hilang. Tidak semudah itu tapi ternyata aku lebih memilih mengalahkan takutku terhadap petir dan guntur daripada harus berurusan dengan seisi kamar yang basah.

Malam itu diisi suara-suara rintik hujan. Suara tetes hujan dari langit turun ke atap lalu jatuh ke tanah. Sebuah proses yang indah. Suara-suara airnya pun juga tak kalah indah dan membuat hati menjadi tenang. Aku suka hujan tapi hujan juga membawa ketakutan bagiku. Banjir dan juga petir. Kenapa di dunia ini tak ada sesuatu yang benar-benar indah. Yang membuat jatuh cinta selamanya. Suka semuanya. Seperti hujan walaupun rintikan airnya menenangkan tapi juga dia membawa petaka banjir dan suara gemuruh yang meresahkan. Aku suka hujan tapi ada kalanya pun aku harus membencinya.

Semalaman aku hanya tertidur dan dibungkus rapi oleh selimutku. Selimut yang menghangatkan tubuh mungil ini. Untung saja atap rumah tak bocor. Ayahku tadi pagi sudah memperbaiki. Yang mana dua pekan kemarin rumahku dan daerah sekitar terkena badai yang hebat dan malam ini hujan turun lagi. Semoga badai tak kembali. Kau tahu badai kala itu sangat menakutkan. Gemuruh petir menyambar listrik kami yang mengakibatkan listrik padam hampir selama satu pekan. Belum lagi air yang mulai meninggi. Padahal dulu tak pernah air menggenang di daerah sini separah apapun badai itu tak pernah ada banjir. Namun aneh saat badai kala itu. Walaupun tak sampai satu meter selama hampir satu pekan banjir menggenangi kami. Aku sangat takut banjir. Bagaimana jika ada ular air yang masuk ke kamarku. Bagaimana jika ada buaya atau mungkin ikan ganas yang tiba-tiba menyerangku saat aku tertidur.

Benar-benar banjir pertama selama beberapa ratus tahun. Begitu kiranya kata para tetangga dan orang-orang tua. Banjir ini baru pertama kali adanya. Aku masih berusia 14 tahun tahu apa tentang banjir. Yang aku tahu banjir membuatku malas mandi. Tetapi baiknya aku tak susah payah pergi ke kamar mandi hanya untuk cuci kaki sebelum tidur, sekarang di kamar pun bisa belum lagi tanamanan di pekarangan tak usah aku siram meskipun banyak yang akhirnya mati. Arus air yang deras merusak tanmanku. Bungah tulip kesukaan mendiang ibuku juga hilang terseret arus. Belum lagi kamboja endemik Thailand yang langkah juga rusak hanya karena banjir ini. Intinya aku benci dengan hujan. Maksutku hujan yang membawa banjir.

Tadi pagi orang-orang disibukkan untuk membersihkan rumah dan pekarangan mereka pasca banjir. Banjir membawa lumpur-lumpur juga batu. Sepertinya ia terbaawa dari atas bukit sana. Beberapa tetanggaku membicarakan tanah longsor yang ada di salah satu sisi bukit itu. Katanya pohon-pohon ditebang sehingga tidak ada tanah resapan. Aku masih kecil begini tidak tahu menahu tentang itu. Tetapi menarik bagiku ketika ada yang mengatakan bahwa usia bumi sudah tua dan spesies manusia menuju kepunahan massal. Entah menarik seperti apa tapi jelas itu menerikan. Tetapi ada lagi yang aku sangat suka ketika tetanggaku mengatakan bahwa tak lama lagi manusia akan pindah ke Mars dan membuat koloni di sana. Ketika mendengar Mars aku menjadi amat sangat senang. Entah karena hidup di planet yang baru mungkin mengasyikan atau karena memang bumi ini sudah tak layah dihuni kembali. Aku harus menaruh rasa senang atau cemas. Aku pun bingung. Di kala manusia disini merusak Bumi lantas apa jadinya ketika manusia membuat koloni di Mars. Pasti juga sama saja. Pencarian akan sumber daya. Eksploitasi besar-besaran mungkin akan di lakukan ketika kaki pertama diinjakan. Aku harus senang atau sedih. Ketika aku sendiri tak bisa hidup lagi disini lalu mengharuskanku pindah ke Mars. Mungkin aku sangat senang

Suara gemuruh mencekam terdengar di sisi bukit itu. Beberapa jam kemudian banyak sirine polisi datang silih bergantian. Rumahku dekat dengan pegunungan yang dikelilingi bukit-bukit kecil yang sangat indah. Namun akhir-akhir ini semenjak adanya pembangunan jalan tol dan pendirian perusahaan air mineral banyak pohon dan lahan yang dialih fungsikan sehingga banyak burung yang entah kemana tak ada lagi suaranya. Padahal dulu aku sering dibangunkan oleh burung dikala pagi dan bernyanyi bersamanya dikala siang hari. Sirine polisi itu ternyata menuju suara gemuruh tersebut. Aku penasaran ada apa di sana. Adakah sesuatu hal yang buruk menimpa bukit itu. Aku sangat khawatir kepada burung-burung yang tersisa. Hanya mereka yang dapat menghibur hatiku dikala susah selain hujan, walaupun kini hujan pun membaawa petaka banjir.

Tanah longsor. Ternyata ada tanah longsor di balik bukit yang mengundang banyak sekali sirine polisi. Aku tahu jawabannya ketika menanyakan pada Ayahku saat Ayah ke kamarku seraya mengucapkan selamat malam. Ternyata sedang terjadi bencana lagi. Aku harap semoga semua baik-baik saja. Namun lepas dari itu aku kembali memikirkan Mars dan manusia yang akan pergi kesana. Aku mungkin merevisi perasaan senangku tadi. Bagaimana tidak. Bisa-bisanya manusia ingin pergi ke Mars karena Bumi sudah tak layak huni, padahal Planet Bumi yaitu rumahnya sedang rusak oleh tangan-tangan mereka sendiri. Seolah pergi meninggalkannya begitu saja apa yang telah ia rusak lantas mencari tempat baru untuk dirusak. Seperti peribahasa yang dikatakan guru bahasa ku "habis manis sepah dibuang". Kenapa tidak berupaya untuk memperbaiki apa yang telah ia rusak. Kenapa malah mencari tempat baru nun jauh di sana. Aku berpikir kembali jangan-jangan bukan Bumi ini yang tak layak huni. Tetapi jangan-jangan Bumi ini sudah tak mampu untuk memenuhi hasrat nafsu para manusia. Sehingga planet terdekat lah pilihannya, siapa tahu di sana terdapat jutaan sumber daya yang melimpah.

Tanah longsor ini salah satu bukti nyata bahwa bumi sudah tak layak huni. Atau tanah longsor ini adalah pertanda bahwa Bumi sudah tak mampu lagi memenuhi kerakusan manusia. Aku tak tahu. Yang aku tahu bahwa Bumi mungkin sedang sangat tersiksa. Bagaimana tidak. Bukit-bukit sekitar rumahku yang dulu rindang penuh hijau pepohonan pun sekarang sudah mulai gersang dan lahan-lahan tanah peresapan air sudah dialih fungsikan. Itu juga yang banyak dibicarakan orang-orang mengenai banjir pertama di daerahku ini. Tetapi aneh, banyak tetanggaku mengeluh. Banyak dari mereka juga tahu bahwa pohon-pohon itu telah ditebang, banyak dari mereka juga protes ke pemerintah karena dianggap tak becus mengelola. Namun mereka ternyata hanya bicara saja. Banyak dari mereka juga mengotori sungai dan hutan dengan sampah. Belum lagi hasil olah kayu jati di bukit-bukit itu juga para tetangga berebut untuk membeli. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Bocah 14 tahun sepertiku tak tahu harus berbuat apa. Semoga Bumi ini masih kuat bertahan saja oleh rakusnya manusia. Aku tidak berharap agar manusia sadar tentang apa yang mereka lakukan, karena sebenarnya mereka sadar dan mereka memang mengarah meunju kehancuran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun