Mohon tunggu...
Miftahul Khair
Miftahul Khair Mohon Tunggu... -

menjdi mahasiswa di universitas mataram angkatan 2012

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budaya Nepotis Bangsa Kita

10 Maret 2015   23:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:50 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya Nepotis Bangsa Kita

M.Miftahul Khair

Nepotismeberarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakarbiologitelah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk daripemilihan saudara.

Katanepotismeberasal dari kata Latinnepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". PadaAbad Pertengahan beberapapausKatolikdanuskup- yang telah mengambil janji "chastity" sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung - memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. DiIndonesia, tuduhan adanya nepotisme bersama dengankorupsidankolusi(ketiganya disingkat menjadiKKN) dalam pemerintahanOrde Baru, dijadikan sebagai salah satu pemicu gerakanreformasiyang mengakhiri kekuasaan presidenSoehartopada tahun1998.

APA penyebab lahirnya nepotisme,,,? Sudah jelas, rasa ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang terlalu mendalam lah yang menjadi penyebabnya. Nepotisme terjadi ketika seorang aparatur negara (birokrat) merekrut aparatur baru bukan berdasarkan nilai-nilai kualifikasi sosok yang hendak direkrut, melainkan berdasar pada ikatan keluarga dan kekerabatan. Implikasinya, birokrasi dijalankan oleh orang-orang yang tidak punya kecakapan dan kemampuan, yang kemudian melahirkan aneka permasalahan lainnya.

Masalah-masalahnya seperti rendahnya kualitas kinerja birokrasi, korupsi secara kekeluargaan, hingga melanggengkan tradisi nepotisme dalam proses perekrutan pegawai negeri. Jika A yang punya kemampuan dan pengetahuan cukup baik mengenai tata kelola birokrasi, seharusnya ia yang lebih berhak direkrut karena memenuhi persyaratan paling penting. Tetapi karena B -yang kualitas kemampuan dan pengetahuannya lebih rendah dari A- merupakan sepupu dari C selaku “orang dalam”, maka yang akhirnnya dipilih adalah B. Ini hanya sebuah ilustrasi, tetapi merupakan realita yang kerap terjadi.

Ikatan Kekerabatan

Muara atau rahim lahirnya budaya nepotisme adalah familisme. Yakni, ketergantugan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang kemudian melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya. Dan pada tahap lanjutannya, familisme mengarah ke nepotisme (Fukuyama, 1999:45).

Dalam lingkungan birokrasi di sekitar kita, familisme kerap menjadi landasan utama dalam proses rekrutmen. Akibatnya, ketika ada seseorang yang hendak melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia barangkali akan berujar: “Kalau mau lulus dengan mudah, harus ada `orang dalam’ yang bersedia menolong.” Kalau sudah begini, ujian resmi atau tes masuk calon pegawai negeri sipil (CPNS) hanya sekadar formalitas belaka untuk menutupi kebusukan nepotisme.

Mengandalkan “orang dalam” itulah yang menjadi pertimbangan lain bagi para pelamar di samping nilai-nilai kualifikasi yang dimiliki. Akibat nepotisme yang mewabah dalam sistem birokrasi, mereka yang punya kecakapan dan layak direkrut akhirnya tersingkir akibat ulah “orang dalam” yang dengan rasa familismenya memperjuangkan keluarga atau kerabatnya yang sama sekali tidak punya kemampuan yang mumpuni agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri.

Apakah mereka yang punya kecakapan mumpuni tapi tersingkir dalam bursa persaingan akan pasrah seketika,,,,? Tentu tidak. Di sinilahsalah satu letak masalah semakin mewabahnya nepotisme. Mereka yang berpendidikan, yang punya kualifikasi dan keahlian memadai, pun akhirnya mencari “orang dalam”-nya sendiri untuk memuluskan langkah. Ini mengindikasikan bahwa nepotisme tidak hanya didukung oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tetapi akibat kultur nepotisme dalam lingkungan birokrasi yang kuat, mereka yang berpendidikan (tinggi) pun akhirnya ikut menyuburkan wabah ini melalui kerja sama kotor dengan “orang dalam”.

Nepotisme merupakan Jebakan Korupsi

Rose-Ackerman (2006) memaparkan bahwa, sebuah negara akan terus bergelut dengan status negara miskin apabila “terperangkap dalam jebakan korupsi”. Situasi munculnya “jebakan korupsi” adalah ketika dalam sebuah negara terjadi korupsi yang “mendorong timbulnya lebih banyak lagi korupsi”. Tetapi sebenarnya, wabah korupsi itu bisa pula berakar dari budaya nepotisme yang kuat.

Dalam Political Man, Lipset berujar: “Semakin miskin sebuah negara, semakin kuat kecondongan pada nepotisme, yakni mengangkat di kalangan teman-teman atau kerabat pada jabatan-jabatan publik.” Negara miskin tentu belum mampu melakukan modernisasi secara keseluruhan, termasuk dalam hal modernisasi birokrasi. Tentu saja, tidak adanya birokrasi yang modern dalam sebuah negara miskin akan menyebabkan perekrutan pegawai-pegawai negeri dengan cara-cara yang menyalahi prosedur ideal birokrasi modern. Ditambah lagi kecenderungan perilaku korup, misalnya dengan maraknya suap untuk melicinkan kelulusan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun