Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, wacana poros Mekah dan poros Beijing muncul meramaikan jagad perpolitikan Indonesia. Wacana itupun langsung menuai kontroversi.
Wacana tersebut muncul setelah Sekjen Sekretariat Bersama (Sekber) Indonesia, M Idrus berjumpa dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Sekber Indonesia sendiri dihuni oleh Gerindra, PKS dan PAN.
Poros Mekah diklaim sebagai poros keumatan yang tetap konsisten mengusung agenda umat. Poros ini mengaku tak akan mengkriminalisasi agama.
Sementara Poros Beijing disebut identik dengan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dekat dengan kebijakan Presiden China Xi Jinping.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad yang dilansir Akurat.co, mempertanyakan kota yang menjadi referensi poros itu. Karena dianggap negara yang menjadi poros tersebut adalah negara yang diktator semua.
Sementara itu, Sastrawan Goenawan Mohamad juga ikut mengomentari kemunculan dikotomi itu. Dia khawatir kepentingan politik praktis nanti akan membuat masyarakat terpecah total.
Respon Parpol
Partai Golkar langsung bereaksi keras dan mengkritik keberadaan poros tersebut tersebut. Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily mempertanyakan mengapa menamakan koalisi harus menggunakan nama kota atau negara lain. Menurutnya politik Indonesia tak ada urusannya dengan negara lain.
Kemudian, PDIP menganggap istilah poros 'Mekah dan Beijing' itu merupakan penggunaan diksi yang menyesatkan rakyat. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, pernyataan itu bisa menyebabkan salah penafsiran "Misleading, menyesatkan! Penggunaan diksi dan narasi untuk mengecoh rakyat".
Berbeda dengan itu, Partai Amanat Nasional (PAN) menghargai pendapat pihak-pihak yang mengusulkan dua poros tersebut. Namun, menurut Wasekjen PAN Saleh Daulay, pemilihan nama harusnya jadi perhatian.